Sunday 15 December 2019

Sekolah sebagai "Paguron" dalam Pandangan Ki Hadjar

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, setelah melalui masa pembuangan di negeri Belanda melakukan perubahan haluan. Yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak melalui lapangan politik tetapi pendidikan. Ia mendirikan sekolah berhaluan nasional pertama di Indonesia yaitu Perguruan Taman Siswa.

Ki Hadjar menyebut sekolah dengan istilah perguruan, berasal dari kata dalam bahasa jawa yaitu paguron. Kata dasarnya adalah guru, yang berarti sebagai tempat guru tinggal dan sekaligus tempat meguru atau berguru. Para siswa berdatangan ke perguruan dalam rangka berguru, yaitu memproleh bimbingan dari guru untuk belajar.

Mengapa guru? Dan perguruan?

Hal tersebut menunjukkan bahwa guru menjadi pusat dari proses pendidikan di tempat tersebut. Tidak hanya karena sebuah perguruan menjadi tempat tinggal guru, tetapi lebih karena  jiwa, karakter dan kepribadian guru benar-benar menjadi ruh dari perguruan. Siswa datang tidak karena dipaksa, melainkan berdasarkan niat yang tulus dan kuat untuk menuntut ilmu kepada guru. Para orang tua juga benar-benar mempercayakan anak-anak mereka kepada para guru untuk membimbing proses belajar (menempa mental) anak-anak mereka.


Guru sebagai pusat sebuah perguruan membuat penghormatan para siswa sama halnya ketika mereka menghadapi orang tua (bahkan lebih sering guru mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi karena ketinggian ilmunya). Ki Hadjar menggabung karakter perguruan ini dengan prinsip kemerdekaan dalam pendidikan melalui prinsip tut wuri handayani (yaitu guru banyak memberi kesempatan kepada para siswa untuk berkembang dan mandiri).

Kesimpulannya, sekolah sebagai sebuah perguruan menurut Ki Hadjar berpusat pada pribadi guru yang menyatukan pikirannya hanya untuk mendidik. Kemudian guru akan menuntun dan memberi kebebasan kepada para siswa untuk belajar, berkembang dan mandiri. Dengan demikian pendidikan akan melahirkan jiwa-jiwa yang merdeka, dengan tetapi memegang nilai luhur bangsa kita yang sangat mempercayai, menghormati dan memuliakan guru.

Referensi:

Marihandono, J. (2017). Prinsip Pendidikan Taman Siswo pada Awal Pendiriannya. Dalam Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya. Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

https://pixabay.com

Friday 19 July 2019

Sisi Negatif Reward

Semua orang, tua ataupun muda, menyukai hadiah dan pujian. Di kelas, para siswa akan sangat senang jika ia memperoleh hadiah atau tambahan nilai jika melakukan suatu tugas yang diberikan oleh guru. Untuk membuat kelas menjadi ramai oleh diskusi seringkali guru memberikan reward berupa tambahan nilai atau bahkan hadiah tertentu bagi yang sangat aktif.

Demikian pula dengan orang tua. Hadiah demi hadiah digunakan untuk memberi semangat kepada anak-anak mereka agar belajar dan menguasai keterampilan tertentu. Cara ini termasuk cukup efektif (terlihat nyata hasilnya). Dalam psikologi pendidikan metode ini disebut dengan positive reinforcement yaitu dengan pemberian reward untuk perilaku yang diharapkan muncul.

Namun sisi negatif dari penggunaan reward juga perlu diketahui oleh guru dan orang tua, agar dapat bijak menggunakannya. Benarkah reward memiliki kelemahan atau dampak negatif bagi anak?


Salah satu kelemahan dari penggunaan reward menurut beberapa peneliti seperti Kohn, Caine dan Caine adalah keampuhannya hanya berlaku pada tugas-tugas jangka pendek dan sederhana. Adapun untuk tugas yang sangat sulit biasanya reward kurang bermanfaat. Hal ini dapat kita temui pada kelas atau individu yang menganggap tugas yang diberikan adalah sulit dan lama, maka reward kurang berdampak. Untuk tugas semacam itu yang lebih efektif adalah motivasi dari dalam diri (intrinsik).

Dampak negatif dari reward yang utama adalah kemungkinan untuk mengecilnya motivasi intrinsik ketika anak atau siswa telah terbiasa melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu atas dasar iming-iming hadiah atau reward tertentu. Bukankah dengan demikian kita justru menghilangkan sesuatu yang sangat berharga dalam diri anak? Dalam kehidupan manusia motivasi intrinsik merupakan sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan diri.

Terkait dengan hasil-hasil penelitian (misalnya Kohn, Caine, Walker, dan Ormrod) menunjukkan bahwa tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa reward dapat membuat pembelajaran menjadi benar-benar mendalam dan bermakna. Sebaliknya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa motivasi intrinsik secara kondusif membuat kelas menjadi aktif, mendukung berpikir kritis, pemecahan masalah serta memori jangka panjang.

Dengan demikian, sebaiknya guru dan orang tua berhati-hati dalam memberikan reward. Jangan menjadikannya satu-satunya cara memotivasi anak. Lebih utamakan untuk menggunakan motivasi intrinsik. 

Sumber Pustaka:

Churchill, R., dkk. (2016) Teaching Making a Difference. Third edition. 42 McDougall St, Milton Qld 4064: John Wiley & Sons Australia, Ltd.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com 

Friday 12 July 2019

Semua Aktivitas adalah Belajar; antara Coba-coba (Trial and Error) dan Meniru (Modeling)

Kalau tidak mau mencoba maka tidak mungkin anak akan berkembang. Sering kita temui anak-anak mencoba melakukan sesuatu dengan penuh keberanian misalnya saat belajar berjalan atau bersepeda, berulang-ulang. Kegagalan demi kegagalan akan mengantarnya pada penguasaan. Para ahli psikologi perilaku menganggap bahwa metode trial and error (coba-coba) adalah metode utama pada diri anak-anak (untuk lebih jelasnya silahkan baca disini).

Berbeda halnya dengan pendapat para ahli psikologi kognitif sosial seperti Bandura dan Zimmerman, yang menganggap bahwa bukan coba-coba yang menjadi metode utama anak-anak untuk belajar dan menguasai berbagai pengetahuan atau keterampilan. Bukan coba-coba, tetapi metode meniru (modeling). Anak-anak belajar berbicara, berjalan, berlari atau naik sepeda bukan dari coba-coba murni, melainkan meniru apa yang telah berhasil dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. 


Metode meniru membuat keberhasilan para pendahulu untuk menciptakan keterampilan, peralatan dan pengetahuan tertentu dapat diwariskan dengan baik. Hewan-hewan sebenarnya juga memiliki metode meniru untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan dalam bertahan hidup. Burung meniru induknya untuk terbang, mencari makan dan membuat sarang. Namun berbeda dengan hewan, menurut Vygotsky peniruan yang dilakukan manusia tidak bersifat copy-paste atau 100% sama dengan yang ditiru. Dalam peniruan itu ada unsur konstruktif sehingga hasilnya tidak benar-benar sama dengan sebelumnya. Dan itulah yang menghasilkan kemajuan dan perkembangan dalam hidup. Generasi demi generasi mengalami perubahan, walaupun juga tidak benar-benar berbeda karena unsur imitasi.

Jadi? Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orang tua?

Jangan berlebihan melarang ketika melihat anak mencoba sesuatu (selama itu positif dan tidak berbahaya). Karena kemauan untuk mencoba merupakan indikator bahwa anak memiliki motivasi dan kreativitas untuk mempelajari sesuatu. Jika bisa berilah petunjuk yang akan memudahkan mereka.

Jadilah contoh yang baik karena semua perilaku kita akan direkam oleh otak anak (walaupun mereka sendiri juga tidak menyadarinya, dan mengatakan akan meniru perilaku kita). Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, demikian pepatah bijak orang dulu untuk menggambarkan bagaimana proses modeling berlangsung alami tanpa dibuat-buat.

Sumber Pustaka:

Ormrod, J.E. (2016). Human Learning. Seventh Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com

Thursday 11 July 2019

Asal-usul Kecenderungan Meniru pada Manusia

Pada pembahasan mengenai kecenderungan anak atau bahkan manusia untuk melakukan peniruan (yang belum membaca silahkan klik disini), kita mungkin bertanya-tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mengapa manusia mudah meniru perilaku orang-orang di sekitarnya. Mengapa seorang anak labat laun menjadi pribadi yang begitu mirip dengan orang tuanya, bukan hanya fisik tetapi juga sikap dan kebiasaan-kebiasaannya.


Setelah berbagai penelitian mengenai betapa efektifnya belajar melalui peniruan (imitasi), para ahli bertanya-tanya dari mana sebenarnya sifat ini berasal? Apakah tertanam di dalam gen. Namun bagaimana mekanismenya?

Pada tahun 80-an, para ahli psikologi dan saraf mengamati bahwa peristiwa peniruan ternyata telah mulai berlangsung sejak bayi baru berumur satu atau dua hari. Mereka dapat menirukan ekspresi wajah dari pengasuh yang mengajak bicara atau gurau mereka. Kemampuan tersebut menunjukkan kesiapan bayi untuk belajar menjadi manusia dewasa sebagaimana layaknya para pengasuhnya. Para tahun 90-an para ahli akhirnya menemukan jawaban dari asal kemampuan untuk meniru tersebut.

Asal utama kemampuan menirukan perilaku orang lain adalah keberadaan neuron cermin (mirror neurons). Yaitu sekumpulan neuron yang menjadi aktif ketika seseorang melihat orang lain melakukan suatu aktivitas. Semakin sering kita melihat orang lain melakukan suatu aktivitas maka kecenderungan untuk menirukan aktivitas tersebut juga semakin besar. Hal tersebut sangat kuat terutama pada anak-anak.

Ternyata neuron cermin tidak hanya dimiliki oleh manusia. Hewan-hewan juga memiliki neuron ini. Oleh karena itu mereka dapat belajar (walaupun sederhana sesuai dengan kapasitas otaknya) menirukan perilaku inang pengasuhnya. Bahkan manusia dapat melatih hewan-hewan tertentu untuk dapat melakukan aktivitas yang tidak biasa dilakukan oleh hewan tersebut seperti misalnya pada hewan-hewan di sirkus.

Sumber Pustaka:

Ormrod, J.E. (2016). Human Learning. Seventh Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com

Tuesday 9 July 2019

Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)

Berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diharapkan dapat dikuasai dan menjadi bagian dari perkembangan siswa melalui proses belajar mengajar di sekolah telah dirancang oleh para penentu kebijakan dan guru melalui rancangan kurikulum sekolah (mengenai kurikulum silahkan baca lebih detail disini). Namun, berdasarkan penelitian para ahli, selama proses belajar-mengajar banyak hal yang juga dipelajari oleh siswa walaupun tidak tersirat di dalam kurikulum yang diterapkan.


Pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang walaupun tidak tersirat dalam kurikulum juga ikut dipelajari selama proses pembelajaran disebut hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Sebagai contoh bagaimana sikap guru kepada siswa, siswa kepada guru dan siswa kepada siswa adalah jenis pembelajaran sikap. Ketika guru menegur siswa yang tidak membersihkan dulu alat yang telah dipakai merupakan contoh hidden curriculum untuk keterampilan dan sikap ilmiah.

Jika guru hendak lebih teliti memperhatikan proses belajar-mengajar yang dilakukannya bersama para siswa maka ia akan menemukan banyak sekali hidden curriculum. Karena seringkali diulang-ulang, kurikulum tersembunyi tersebut bahkan seringkali lebih kuat dampaknya dalam diri siswa daripada kurikulum sekolah yang tertulis. Bahkan walaupun ia tidak dinilai dan dimasukkan ke dalam ujian.

Churchill, dkk (2016) menyebutkan bahwa kurikulum tersebunyi dapat bermanfaat bagi siswa atau sebaliknya. Misalnya dalam ujian guru tidak menegur siswa yang menyontek, bahkan mendorongnya agar semua siswa naik kelas, sehingga mereka terbiasa tidak jujur. Guru harus mempertimbangkan berbagai dampak jangka panjang dari kurikulum tersembunyi yang berlangsung.

Sumber Pustaka:

Churchill, R., dkk. (2016) Teaching Making a Difference. Third edition. 42 McDougall St, Milton Qld 4064: John Wiley & Sons Australia, Ltd.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com 

Friday 5 July 2019

Aturan di Dalam Kelas

Masyarakat memiliki aturan baik tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menjaga kehidupan yang tenang dan aman. Demikian pula dengan kelas. Aturan-aturan dibutuhkan untuk menjaga kondisi yang nyaman untuk belajar bagi semua siswa. Tidak ada gangguan bagi sebagian siswa karena sebagian lain menjadi pengganggu.

Semua sekolah pada dasarnya telah memiliki aturan, namun bisa jadi aturan-aturan tersebut tidak berjalan karena tidak ada upaya dan kerjasama yang baik antara guru dan siswa untuk memahami dan menjalankannya. Seringkali siswa, apalagi mereka di kelas-kelas bawah, melanggar aturan karena memang belum memahami aturan tersebut.


Aturan kelas memiliki perbedaan dengan aturan sekolah (walaupun ada juga aturan sekolah yang menjadi aturan kelas) karena aturan kelas lebih khusus menjadi pemandu bagi siswa dan guru pada perilaku mereka ketika berada di dalam kelas. Karakter kelas yang berbeda dapat menghasilkan peraturan kelas yang juga berbeda. Anak kelas satu dan kelas enam sangat mungkin membutuhkan unit aturan kelas yang berbeda karena kondisi psikologis mereka telah berkembang.

Untuk menyusu peraturan kelas yang efektif, Garret (2014) menyebutkan beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh guru:
  1. Beberapa aturan yang masuk akal untuk dijalani, Aturan yang terlalu banyak akan menyulitkan siswa (dan bahkan guru sendiri) untuk mengingat dan menjalankannya. Perlu diperhatikan perilaku apa yang penting untuk diatur misalnya menghargai teman, tepat waktu, hati-hati dengan peralatan dan menjaga kebersihan.
  2. Hati-hati "membahasakan" aturan. Sebaiknya lebih terfokus pada perilaku positif agar aturan lebih mendorong kelas yang aktif, bukan ketakutan. Selain itu bahasa yang digunakan harus benar-benar dapat mudah dipahami oleh semua siswa.
  3. Pertimbangkan kultur siswa. Mungkin guru berasal dari daerah lain sehingga perlu mempelajari kebiasaan dan kultur masyarakat asal siswa. Jangan sampai perilaku yang dilarang di masyarakat justru didorong untuk dilakukan atau sebaliknya. 
  4. Beri contoh bagaimana aturan diterapkan dan dipatuhi. Jika guru justru menjadi seseorang yang tidak mematuhi aturan maka aturan hanya akan menjadi "musuh" bagi siswa.
  5. Tempatkan daftar aturan kelas di tempat yang mudah dibaca.
  6. Beri kesempatan pada siswa untuk mengkritisi dan mengambangkan aturan.
Bagaimana untuk menyusun dan menerapkan aturan di kelas, setiap guru kemungkinan memiliki cara tersendiri sesuai dengan pengalaman dan karakter siswa mereka. Berikut ini adalah contoh bagaimana guru melakukannya (klik disini).

Daftar Rujukan:

Garret, T. (2014). Effective Classroom Management; The Essentials. New York: Teachers College Press.

https://pixabay.com

Friday 21 June 2019

Keseimbangan Otak Kanan dan Otak Kiri dalam Pembelajaran

Beberapa puluh tahun terakhir, telah muncul kajian mengenai otak dan cara kerjanya. Saat ini orang-orang mengenalnya dengan istilah neurosains. Salah satu temuan penting dari studi mengenai cara kerja otak adalah perbedaan sifat antara belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kemungkinan besar para pembaca telah mengetahui (atau paling tidak pernah mendengar) kajian ini.

Ternyata belahan otak kanan dan kiri manusia, menurut penelitian, berbeda sifat dan fungsi. Otak kanan lebih berfungsi pada aktivitas bepikir visual, nonverbal, spasial, divergen dan intuitif. Sedangkan otak kiri berfungsi pada aktivitas berpikir verbal, logis, katagorikal, detail dan konvergen. Otak kanan lebih pada kreativitas sedangkan otak kiri pada analitis. Pada aktivitas sederhana, contohnya adalah otak kanan berfungsi dalam mengenali wajah seseorang sedangkan otak kiri pada bagaimana mengingat namanya.


Riset-riset juga semakin menguatkan bahwa fungsi intelektual manusia akan terimplementasi dengan baik jika kedua belah otaknya sama-sama berfungsi secara kooperatif. Ibaratnya tim ganda badminton, keduanya harus bekerja sama untuk dapat memenangkan berbagai tugas dan persoalan.

Sejak lama sekolah-sekolah lebih memfokuskan diri untuk mengaji kemampuan atau keterampilan berbasis belahan otak kiri. Akibatnya banyak kita temui bagaimana semakin tinggi sekolah seseorang justru semakin menurun kreativitasnya. Semakin ia tidak dapat mengembangkan ide-ide karena terpaku oleh teori atau pengetahuan yang didapatnya dari sekolah.

Setelah pemahaman masyarakat mengenai bagaimana kinerja otak kanan dan kiri semakin baik, maka tuntutan untuk lebih menyeimbangkan pembelajaran pada kecenderungan kedua belahan otak semakin menguat. Sayangnya mengajarkan kemampuan otak kanan ternyata lebih sulit, terutama pada guru-guru yang tidak mampu keluar dari buku teks pegangan mereka.

Merancang pembelajaran yang berorientasi kreativitas, tidak bisa hanya terpaku pada buku teks karena nuansa kreatif sangan berkaitan dengan konteks lingkungan dan kepribadian siswa. Banyak kita temui metode-metode pembelajaran kreatif ditulis pada buku pengajaran, namun percayalah jika metode-metode itu diterapkan secara langsung (dengan kata lain diterapkan secara tidak kreatif) hasilnya akan jauh dari harapan.

Walaupun demikian Hines (1991) dan Sylwester (2007) menyebutkan bahwa belum ada bukti kuat bahwa pelajaran berorientasi kinerja otak kanan pasti akan meningkatkan kreativitas siswa. Tapi tetap saja pembelajaran kreatif menjanjikan suatu terobosan yang penuh harapan bagi guru dan orang tua. Terutama di zaman dimana kerja manual telah semakin sedikit dibutuhkan.

Buku Rujukan:

Orlich, D.C., Harder, R.J., Callahan, R.C., Trevisan, M.S., & Brown, A.H. (2010). Teaching Strategies: A Guide to Effective Instruction. Ninth Edition. Boston: Wadsworth Cengage Learning

Gambar: 

https://pixabay.com

Saturday 25 May 2019

Strategi Mengatur Tempat Duduk Siswa

Ketika hendak mengatur bagaimana susunan tempat duduk siswa di kelas, seorang guru harus mengetahui apa kelemahan dan kelebihan dari bentuk-bentuk pengaturan tempat duduk. Dengan demikian ia dapat memilih mana susunan yang paling baik untuk karakter para siswanya saat itu. Masing-masing bentuk susunan tempat duduk siswa memiliki kelebihan sekaligus kelemahan, tidak ada yang sempurna.


Filosofi susunan tempat duduk siswa sebenarnya adalah menentukan ruang interaksi pembelajaran. Pengaturan tempat duduk tertentu akan berdampak pada di sebelah mana interaksi pembelajaran akan lebih dominan, dan sebelah mana yang kurang interaktif.

Secara umum pengaturan tempat duduk siswa di kelas terbagi menjadi empat bentuk yaitu:
  1. Baris tradisional (traditional rows). Adalah susunan dimana siswa duduk satu-satu dalam beberapa baris menghadap guru dan papan tulis atau layar. Pesan utama susunan ini adalah otoritas guru sebagai pemberi pelajaran. Keuntungannya adalah: guru mudah bergerak ke masing-masing tempat duduk siswa, siswa mudah melihat guru, masing-masing siswa tidak saling mengganggu dan guru mudah memantau siswa memperhatikan atau tidak. Adapun kelemahan susunan ini adalah: siswa sulit belajar dalam bentuk kelompok, siswa tidak saling melihat dalam diskusi, siswa di bagian belakang sering berkurang perhatiannya.
  2. Berkelompok-kelompok (cluster). Adalah susun dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang sama rata, dimana siswa duduk melingkar di dalam masing-masing kelompok. Susunan ini menunjukkan bahwa keutamaan kelas adalah berdiskusi membangun pengetahuan bersama. Keuntungan susunan ini adalah: guru dapat mudah berinteraksi dengan kelompok atau personal, siswa lebih mudah belejar dalam kelompok, para siswa dapat saling melihat dan berdiskusi. Adapun kelemahannya adalah: meminta perhatian semua siswa pada guru agak sulit karena ada siswa yang tidak menghadap guru, guru agak sulit memonitor pemahaman keseluruhan siswa.
  3. Berpasangan (pairs). Seperti susunan baris tradisional, namun tidak sendiri-sendiri melainkan berpasangan. Dalam susunan ini siswa tetap dapat bekerjasama (dalam pasangan) namun dengan tetap mudah memperhatikan guru sebagai otoritas utama. Keuntungan dari susunan ini merupkan gabungan dari susunan pertama dan kedua,sedangkan kelemahannya adalah pada aktivitas individual siswa di sebelah dapa mengganggu. Siswa di bagian belakang juga mungkin kehilangan fokus.
  4. Bentuk U (U shaped). Adalah susunan dimana tempat duduk siswa membentuk huruf U menghadap ke guru yang berada di tengah sehingga jarak interaksi semua siswa pada guru adalah sama. Keuntungannya adalah: perhatian semua siswa sama, guru dapat memonitor semua siswa dengan baik, komunikasi antar siswa menjadi lebih baik. Sementara kelemahannya adalah: lebih banyak peluang untuk munculnya kegaduhan, pada belajar individual lebih banyak kemungkinan adanya gangguan dari teman sebelah, dan sulit untuk bekerja dalam kelompok kecil.
Gambar masing-masing susunan di atas dapat dilihat atau diunduh disini.

Mungkin ada bentuk lain dari susunan tempat duduk siswa, namun pasti juga memiliki kelebihan dan kelemahannya tersendiri. Guru harus mempertimbangkan bagaimana kondisi siswa, apa yang dibutuhkan mereka, serta kemampuannya sendiri untuk mengatur siswa selama pembelajaran. Bagaimana menurut anda, mana yang lebih cocok untuk kelas anda?

Daftar Rujukan:

Garret, T. (2014). Effective Classroom Management; The Essentials. New York: Teachers College Press.

https://pixabay.com

Thursday 23 May 2019

Manajemen Kelas, Dulu dan Sekarang

Para siswa, terutama yang telah menginjak usia remaja, mengalami perkembangan emosional di dalam dirinya. Hal itu membuat seringkali perilaku mereka seperti ledakan-ledakan yang sulit dikendalikan. Selain karena aspek perkembangan, pengalaman hidup yang telah menunjukkan banyaknya kenyataan yang tidak sesuai harapan membuat siswa terutama di kelas menengah seringkali menabrak aturan kelas ataupun sekolah.

Dalam kondisi demikian, maka tugas guru menjadi cukup berat. Sekian banyak siswa di dalam kelas harus dapat dikondisikan untuk belajar. Manajemen kelas menjadi salah satu kemampuan utama guru.


Pada zaman dulu, para guru belum familiar dengan istilah manajemen kelas. Mereka lebih familiar dengan istilah disiplin kelas. Fungsi dari disiplin kelas adalah mengendalikan dan menurunkan perilaku-perilaku yang menghambat belajar melalui hukuman. Kondisi seperti ini berlangsung di sekolah-sekolah pada tahun 1800-an.

Setelah berlangsung cukup lama, kenyataannya disiplin kelas menggunakan hukuman tidak dapat menghilangkan perilaku menghambat belajar. Karena itu pada tahun 1900-an para guru, seiring dengan pergeseran sosial dan filsafat pendidikan, mulai lebih mengarah pada manajemen kelas yang menekankan pada pemotivasian dan kebebasan belajar. Kebebasan belajar yang sangat besar diberikan, namun hingga tiga puluh tahun berlalu kelas-kelas tidak berubah menjadi lebih baik. Bahkan banyak yang lebih "menakutkan."

Di tahun 2000-an konsep manajemen kelas kembali bergeser pada pengendalian belajar. Pengendalian di sini lebih diarahkan pada pengendalian even-even belajar, bukan pada pengendalian siswa. Fokus pada pencegahan bukan pada hukuman. Untuk itu perencanaan dalam manajemen kelas perlu dilakukan meliputi:
  1. Pencegahan perilaku-perilaku menghambat belajar.
  2. Membantu siswa mengembangkan pengendalian diri.
  3. Mengajukan prosedur-prosedur dalam menghadapi perilaku menghambat belajar (yang ternyata tetap terjadi walaupun dihambat).
Para penliti psikologi juga mengembangkan prosedur yang dapat digunakan guru untuk membentuk perilaku positif, salah satunya menggunakan teknik penguatan B.F. Skinner (untuk lebih jelasnya silahkan baca atau unduh disini).

Setiap budaya juga memiliki keunikan yang membuat guru harus menyesuaikan teori manajemen yang mereka miliki dengan lingkungan dan budaya sekitar. Dalam mengajar guru harus terus mempelajari kondisi para siswanya.

Daftar Rujukan:


Carjuzaa, j. Kellough, R.D. (2013). Teaching in the Middle and Secondary Schools. Tenth Edition. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

https://pixabay.com

Wednesday 22 May 2019

Belajar Melalui Praktik

Kita ketahui bersama, dan rasanya semua setuju, bahwa praktik penting bagi perkembangan belajar siswa. Anak-anak bahkan sebelum sekolah telah menerapkan metode pratik untuk mempelajari banyak hal. Misalnya anak nelayan yang mencoba mempraktikkan bagaimana cara membelah ikan dan mengeringkannya. Atau anak petani yang mempraktikkan bagaimana menabur biji-biji padi yang akan dijadikan benih.


Praktik adalah aktivitas dimana siswa atau anak-anak menerapkan pengetahuan atau keterampilan tertentu di dalamnya. Tujuan dari praktik adalah agar mereka benar-benar dapat menguasai keterampilan dan pengetahuan tersebut. Dalam dunia kerja, praktik akan mengasah profesionalitas kerja. 

Sayangnya tidak setiap praktik efektif untuk membuat siswa terampil. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa tidak semua praktik dapat benar-benar meningkatkan kemampuan atau keterampilan siswa. Bahkan dalam satu proses belajar yang sama, anak-anak dengan sikap yang berbeda dapat mengalami hasil belajar yang jauh berbeda. 

Ambrose, dkk (2010) mengungkapkan beberapa aspek penting dalam belajar melalui praktik agar dapat berjalan efektif yaitu:
  1. Fokus pada tujuan tertentu (spesifik). Tanpa tujuan yang jelas maka praktik akan berlangsung tanpa arah. Tidak jelas akhir dari praktik tersebut siswa diharapkan untuk bisa melakukan apa. Praktik hanya dilakukan untuk memberi contoh suatu keterampilan pada siswa tanpa membuat mereka tertuntut untuk dapat melakukan apa. Tujuan harus jelas (untuk membuat tujuan yang jelas seringkali guru harus menggunakan kata-kata kerja spesifik seperti dalam taksonomi dalam link ini). 
  2. Buatlah target yang relatif sesuai dengan kemampuan siswa sebelumnya. Aktivitas yang terlalu sulit untuk dipelajari menjadi tidak mungkin untuk dipelajari, sebaliknya yang terlalu mudah tidak akan membuat siswa belajar apa pun karena mereka telah menguasainya. Level kesulitan dalam praktik yang dilakukan harus rasional. 
  3. Kuantitas (waktu dan jumlah praktik) yang pas dengan level tujuan yang dibuat. Prakrik membutuhkan waktu, oleh karena itu berapa waktu dan jumlah praktik yang mungkin dapat dilakukan harus menjadi salah satu pertimbangan utama seorang guru dalam merancang dan menyusun tujuan dari praktik yang akan dilakukan oleh siswa.
  4. Umpan balik yang jelas dan spesifik pada kesalahan. Setiap siswa tentu akan melakukan kesalahan pada praktik yang mereka lakukan. umpan balik (evaluasi) yang jelas menunjukkan apa dan bagaimana kesalahan itu akan membuat siswa dapat memperbaikinya pada praktik mendatang. Umpan balik sebaiknya juga memberikan solusi bagi permasalahan siswa.
Daftar Rujukan:

Ambrose, S.A., dkk. (2010). Seven Research-Based Principles for Smart Teaching. San Francisco, CA: Jossey-Bass

https://pixabay.com

Thursday 16 May 2019

Prior Knowledge

Siswa masuk ke dalam kelas bukan sebagai bahan-bahan dasar makanan yang dengan mudah diolah berdasarkan kemauan guru. Mereka bukan juga wadah kosong yang siap untuk diisi pengetahuan baru. Siswa datang ke dalam kelas, mengikuti pelajaran, dengan membawa pengetahuan sebelumnya (prior knowledge). Pengetahuan yang mereka peroleh dari proses belajar yang lain atau dari kehidupan sehari-hari.

Proses belajar siswa, bagaimana cara dan kesulitan mereka untuk memahami apa yang dipelajari di kelas, sangat dipengaruhi oleh prior knowledge yang mereka bawa. Untuk itu guru harus benar-benar dapat mengantisipasi hal ini.


Ada prior knowledge yang telah bersifat akurat (misalnya konsep yang telah dipelajari siswa dari kelas sebelumnya), namun ada juga yang bersifat tidak akurat (misalnya konsep berdasarkan cerita yang diyakini siswa sejak kecil). Apapun itu, prior knowledge yang berkaitan dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan guru di kelas, akan menjadi kacamata atau filter bagi siswa untuk memahami pengetahuan baru tersebut. Dengan kata lain prior knowledge akan menjadi pondasi bagi pembentukan pengetahuan baru.

Tidak akuratnya prior knowledge akan membuat pengetahuan baru yang terbentuk dari proses belajar selanjutnya akan mengalami distori dari makna yang seharusnya. Guru yang bersemangat mengajar namun kurang memperhatikan prior knowledge siswa tanpa disadari dapat menghasilkan kesalahan konsep.

Sebagai guru, mungkin anda sering mendapatkan kenyataan bagaimana para siswa yang telah mempelajarai konsep tertentu (dan sukses dalam ujian) ternyata setelah beberapa lama pemahaman mereka kembali salah, seperti pada kondisi belum mempelajari konsep tersebut. Mengapa ini terjadi? kemungkinan besar adalah karena konsep tersebut tidak benar-benar mereka pahami (pengetahuan baru yang terebentuk tidak berbeda dengan prior knowledge). Mereka dapat menjawab ujian hanya berdasarkan hafalan.

Pengetahuan yang telah menjadi bagian dari skema kognitif kita akan menjadi pondasi bagi pembentukan pengetahuan baru. Itulah mengapa prior knowledge sangat berpengaruh pada hasil belajar. Guru harus berhati-hati mengenalinya (untuk mengetahui prior knowledge siswa, guru dapat menggunakan beberapa teknik seperti pada lampiran ini).

Setelah itu, para guru dapat mempelajari hasil-hasil penelitian para ahli untuk memperbaiki prior knowledge siswa yang tidak akurat (contoh bagaimana metodenya silahkan baca atau unduh disini). Tanpa itu maka usaha keras mengajar akan banyak hilang setelah ujian.

Daftar Rujukan:

Ambrose, S.A., dkk. (2010). Seven Research-Based Principles for Smart Teaching. San Francisco, CA: Jossey-Bass

https://pixabay.com

Integrasi Teknologi dan Konten Pembelajaran

Abad modern dikenal juga sebagai abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Permulaan abad 21 semakin menunjukkan bahwa kehidupan manusia benar-benar akan lengket dan menyatu dengan penggunaan teknologi. Banyak hal mustahil yang dapat kita temui melalui perkembangan teknologi canggih di abad ini.

Dunia pendidikan pun tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Kemudahan-kemudahan belajar di kelas, bahkan dengan munculnya kelas di dunia maya (on line classroom) tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Anak-anak begitu cepat beradaptasi dengan kemajuan teknologi, dan demikian juga seharusnya para guru. 


Ada dua jenis teknologi. Pertama adalah teknologi perangkat keras yang berupa berbagai perangkat atau alat buatan manusia yang dapat membantu atau memudahkan kehidupan manusia. semua alat di sekitarmu adalah teknologi, mulai dari hanya sekedar meja, kursi, pisau hingga yang canggih seperti mobil, traktor, robot dan pesawat. Kedua adalah teknologi komunikasi dan informasi yang berupa berbagai peralatan yang membantu manusia untuk berkomunikasi dan mengakses informasi seperti televisi, telpon, komputer dan android, dengan kemampuan untuk mengases internet.

ICT atau teknologi komunikasi dan informasi mengalami puncak perkembangannya di abad 21 ini. Dalam dunia pendidikan, ICT yang digunakan biasanya adalah berupa:
  1. Hardware seperti papan interaktif, komputer dan printer.
  2. Portable mobile divice, seperti smartphone, laptop, tablet dan kamera digital.
  3. Software seperti microsoft word, excel, editor foto dan video dan simulasi komputer.
  4. Aplikasi internet seperti blog, wiki, cloud computing, search engine (seperti google), dan video streaming.
Seringkali teknologi yang diserahkan kepada sekolah melalui bantuan pemerintah atau pihak swasta tidak dapat digunakan oleh para guru karena keterbatasan skil. Di sinilah dibutuhkan semanga untuk terus belajar. Setelah mampu menggunakannya, para guru juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai teknologi tersebut ke dalam pembelajaran. Pengetahuan untuk mengintegrasikan teknologi secara efektif ke dalam pembelajaran disebut dengan technological pedagogical content knowledge (TPCK).

Setiap mata pelajaran memiliki karakternya sendiri sehingga bagaimana untuk mengintegrasikan teknologi ke dalamnya juga berbeda. Menggunakan teknologi secara sembarang tanpa pertimbangan dan perencanaan yang tepat justru akan membuat pelajaran terhambat.

Untuk mengetahui aspek-aspek dalam TPCK silahkan baca atau unduh disini.

Daftar Rujukan:

Johnson, Nicola F. (2016). Teaching with Information and Communication Technologies. Dalam Teaching Making a Difference. Milton Qld 4064: John Wiley & Sons

https://pixabay.com 

Wednesday 15 May 2019

Peran "Private Speech" menurut Vygotsky

Berbicara pada diri sendiri (private speech) sering kita temui pada anak kecil. Sambil bermain dapat kita dengar bagaimana mereka berbicara sendiri. Kita pun sering berbicara sendiri, namun lebih tak terdengar (bahkan mungkin tanpa suara). 

Berbicara sendiri adalah kejadian biasa. Bahkan mungkin dianggap negatif oleh banyak orang. namun sesungguhnya kegiatan itu memiliki peran besar dalam perkembangan kejiwaan dan kedewasaan seseorang. Lev Vygotsky adalah ilmuwan yang mengungkap bagaimana peran berbicara sendiri bagi perkembangan manusia.


Menurut Vygotsky, berbicara sendiri memiliki peran kuat yang mengarahkan perilaku dan pikiran manusia. Sejak masa kanak-kanak aktivitas tersebut telah menjadi prekursor bagi kemampuan anak untuk mempertahankan fokus pada suatu pekerjaan. Pada saat kita hendak mengingat atau menghafal sebuah informasi biasanya bicara sendiri menjadi cara untuk terus mengulangi informasi yang hendak dihafal. Demikian pula ketika hendak memecahkan sebuah permasalahan, maka diri kita seolah terbagi menjadi dua orang yang saling berdialog untuk menganalisis dan mencari solusi permasalahan.

Bicara sendiri menjadi sebuah alat yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk menguji pemikiran mereka baik dalam menganalisis atau memecahkan permasalahan. Berbicara sendiri bahkan dapat menjadi alat untuk mengontrol emosi dan mengendalikan diri (self regulation). Ketika sedang dilanda marah, seseorang yang bisa berbicara pada diri sendiri umumnya akan segera berdialog pada diri sendiri mengenai apa yang menyebabkan ia marah, mengapa harus marah, apa dampak-dampaknya, dan berbagai tema terkait dalam waktu yang cukup lama. Proses itu akhirnya dapat meredakan kemarahannya.

Seiring dengan pertambahan usia dan kedewasaan, maka aktivitas bicara sendiri menjadi lebih tidak terdengar namun sebenarnya terus terjadi dan bahkan memegang peran yang besar. Penelitian Lidstone dan koleganya menunjukkan bahwa anak-anak yang benyak berbicara sendiri ternyata dapat mencapai prestasi belajar lebih dari kawan-kawannya, dapat menikmati proses belajarnya dan belajar secara lebih efektif dari pada yang tidak atau jarang melakukan.

Nah, berdasarkan temuan-temuan ini kita tentu harus lebih menghargai dan bahkan memanfaatkan aktivitas berbicara sendiri ini. Bagaimana bicara sendiri yang efektif? Para ilmuwan mencoba untuk memformulasikannya (salah satu contohnya dapat anda baca atau unduh disini). Namun tidak menutup kemungkinan bagi kalian untuk menemukannya sendiri.

Daftar Rujukan:

Eggen, P. Kauchak, D. (2016).  Educational Psychology, Windows on Classrooms. Tenth Edition. Upper Saddle River: Merrill

https://pixabay.com


Tuesday 14 May 2019

Pendidikan Relevan Kultur [Culturally Relevant Pedagogy]

Kajian tentang kultur masyarakat menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengukur suatu perilaku dari satu kacamata kultur saja. Seperti misalnya belajar bersama antara anak laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan aktivitas fisiknya bagus di banyak tempat, namun bisa jadi hal tersebut dianggap tidak pantas di tempat dengan kultur yang berbeda. Contoh lain misalnya ketika seorang siswa menyapa guru dengan memanggil nama langsung bagus di kultur Amerika namun kurang sopan jika dilakukan di kultur Indonesia.


Indonesia sendiri adalah negara dengan banyak suku, adat istiadat dan kultur. Walaupun secara nasional, bahasa dan landasan negara kita telah disatukan namun berbedaan kultural tersebut tetap melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam dunia pendidikan terdapat konsep pendidikan relevan kultur. Yaitu suatu konsep dimana pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah, seharusnya benar-benar memperhatikan kondisi kultural asal siswa. Proses belajar yang dilakukannya seharusnya menjadikan mereka memahami kultur mereka sendiri dengan lebih baik sehingga sekolah nantinya dapat membuat mereka dapat beradaptasi dan membangun masyarakatnya menjadi lebih baik.

Gerakan pendidikan relevan kultur didasari oleh kenyataan mengenai banyaknya sekolah yang menerapkan proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan kultur siswa. Tidak membuat anak-anak memahami kehidupan mereka sendiri. Sehingga semakin tinggi sekolah semakin seseorang terasing dari masyarakatnya.

Ladson-Billings mengembangkan konsep pendidikan relevan kultur meliputi tiga aspek yaitu:
  1. Siswa harus mengalami kesuksesan akademik. Para siswa harus dapat mengembangkan keterampilan akademik mereka, walaupun bervariasi. 
  2. Siswa harus mengembangkan kompetensi kultural mereka. Guru memanfaatkan kultur siswa sebagai kendaraan untuk belajar. Misalnya guru bahasa memanfaatkan pepatah lokal untuk mengajarkan konsep tentang makna konotatif dalam bahasa.
  3. Siswa harus mengembangkan kesadaran kritis. 
Selanjutnya James A. Banks menyatakan bahwa pendidikan relevan kultur lebih dari sekedar menyesuaikan kurikulum. Pendidikan ini harus memperhatikan dimensi-dimensi lainnya, dia menyebutkan ada lima dimensi yang harus diperhatikan yaitu integrasi konten, proses konstruksi pengetahuan, reduksi prasangka, memberdayakan kultur sekolah dan struktur sosial, serta kesetaraan pendidikan (untuk penjelasan masing-masing dimensi silahkan dilihat dan diunduh disini).

Daftar Rujukan

Woofolk, A. (2016). Educational Psychology.Thirteenth Edition. London: Pearson

https://pixabay.com

Monday 13 May 2019

Strategi Memulai Pembelajaran

Seringkali guru terlalu fokus pada konten pembelajaran, sehingga tidak merencanakan bagaimana dia akan memulai pembelajaran. Akibatnya siswa tidak merasakan pentingnya atau menariknya pelajaran yang akan ia terima. Selanjutnya proses belajar berlangsung pasif, hanya terdapat beberapa siswa yang mau mengikuti dan berpartisipasi dalam aktivitas belajar.


Memulai pelajaran begitu penting, seperti kata bijak bahwa sentuhan pertama memberi kesan yang tak akan pernah terlupa. Maksudnya bahwa awal yang buruk atau hambar akan memberi kesan negatif yang selanjutnya mempengaruhi siswa di sepanjang proses pembelajaran. Untuk itulah sebaiknya guru merancang bagaimana strateginya untuk memulai pembelajaran.

Shostak (2011) menjelaskan bahwa awal pembelajaran yang terencana memiliki empat fungsi yaitu: 
  1. Memfokuskan siswa, yaitu dari berbagai aktivitas atau pikiran yang menguasai psikologi siswa sebelumnya (baik dari luar kelas atau pun dari pelajaran sebelumnya)
  2. Membuat siswa mengerti apa yang diharapkan (ekspektasi) dari proses belajar tersebut.
  3. Memotivasi siswa agar benar-benar terlibat dalam proses belajar. Berbagai aktivitas, visualisasi, cerita pengantar, media dapat dimanfaatkan untuk memunculkan motivasi siswa terhadap pelajaran. 
  4. Menghubungkan pelajaran dengan pengetahuan sebelumnya. Tanpa awal yang baik, siswa mungkin tidak memahami bahwa konten pelajaran berkaitan dengan beberapa pengetahuan yang dimilikinya, sehingga mereka kurang mendapatkan makna dari pelajaran tersebut.
Demikianlah, awal pembelajaran tidak hanya bertujuan membuat siswa fokus pada permulaannya, tetapi ternyata juga terus mempertahankan fokus tersebut dengan menaikkan level motivasi mereka. Ia juga penting dalam hal mengaitkan pelajaran dengan pengetahuan yang sebelumnya dimiliki siswa (baik pada pelajaran sebelumnya, atau pun dari pengetahuan sehari-hari mereka).

Dengan demikian strategi memulai pembelajaran direncanakan untuk memenuhi keempat tujuan tersebut. Dimulai dari aktivitas apa yang dapat memfokuskan siswa, membuat mereka mengerti apa yang dipelajari selanjutnya dan hubungannya dengan apa yang telah diketahui sebelumnya, Direncanakan juga aktivitas yang dapat meningkatkan motivasi dari siswa yang sebelumnya telah mulai fokus.

Masing-masing guru, dengan pengalaman mereka, tentu memiliki strategi unik sesuai dengan karakter siswa dan pelajaran yang diampu. Sebagai contoh bagaimana implementasi dari perencanaan strategi memulai pembelajaran dapat dilihat dan diunduh disini.

Daftar Rujukan:

Shostak, R. (2011). Involving Students in Learning. Dalam Classroom Teaching Skills. Ninth Edition. Belmont, CA: Wadworth Cengage Learning.

https://pixabay.con

Memahami Temperamen Siswa

Banyak siswa di sekolah, tentu tidak sama, masing-masing memiliki karakter unik yang membedakan satu dengan yang lain. Ada yang sangat aktif, namun di lain pihak ada juga yang kalem, lamban dalam menyikapi sesuatu. Hal tersebut berkaitan dengan temperamen.

Secara sederhana temperamen dapat diartikan pola perilaku seseorang dalam merespon sesuatu. Seperti contoh di atas, ada yang aktif namun ada juga yang kalem atau bahkan pasif. Bates dan Pettit menjelaskan temperamen meliputi dua aspek yaitu reaksi emosional dan regulasi diri. Reaksi emosional adalah kecepatan dan intensitas seseorang merespon situasi baik dengan emosi positif atau negatif. Sedangkan regulasi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengatur emosinya.


Thomas dan Chess menggolongkan temperamen ke dalam tiga jenis temperamen secara sederhana yaitu:
  1. Anak aktif (easy child), umumnya dengan mood yang positif, mudah mengatur diri dan beradaptasi dengan pengalaman baru.
  2. Anak bebal (difficult cild), umumnya cepat menangis, bereaksi negatif, rutinitasnya tidak menentu dan lambat menerima perubahan.
  3. Anak lamban (slow to warm up child), lambat beraktivitas, agak negatif dan moodnya kurang kuat.
Dalam penelitiannya Chess dan Thomas menemukan bahwa 40% anak adalah aktif, 10% bebal dan 15% lamban. 35% yang lain sulit untuk diidentifikasi jenis temperamennya. Selain penggolongan tersebut Jerome Kagan membagi temperamen malu, lemah, segan dan sosialis. Dari kondisi ini para guru dapat memahami bahwa banyak dimensi temperamen yang dapat digunakan guru untuk mengenali siswa-siswa mereka.

Dengan mengenali temperamen siswa tentu selanjutnya guru dapat berinteraksi dengan lebih baik. Sehingga para siswa dapat belajar dan berkembang. Contoh mengenai bagaimana guru menyikapi perbedaan temperamen siswa dapat dilihat atau diunduh disini.

Daftar Rujukan:

Santrock, John W. (2018). Educational Psychology: Theory and Application to Fitness and Performance. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Education.

https://pixabay.com 

Sunday 12 May 2019

Keterampilan Abad 21

Abad 21 telah membawa begitu bayak perubahan dalam kehidupan kita. Jika dulu orang-orang harus menunggu lama untuk mengetahui berbagai informasi dari tempat-tempat lain, saat ini informasi dapat diketahui dalam hitungan jam bahkan menit setelah kejadian. Para pelajar harus mengunjungi perguruan tinggi di kota-kota besar untuk meminjam buku tertentu, saat ini internet dapat memudahkan mereka memperoleh berbagai literatur dengan cepat. Jual beli pun dapat dilakukan di internet.

Perubahan besar di abad 21 menuntut keterampilan yang berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya. Jika tenaga kasar dulunya masih sangat dibutuhkan, maka saat ini pikiranlah yang dibutuhkan. karena tenaga telah banyak digantikan oleh mesin dan robot. Keterampilan menggunakan dan memanipulasi media dan teknologi juga menjadi sangat krusial.


Pendidikan harus dapat mengantisipasi perubahan. Dia tidak boleh stagnan. Para siswa menunggu untuk proses belajar yang dapat menyiapkan mereka menghadapi masa depan yang mungkin akan semakin banyak berubah dan lebih cepat.

Slavin (2018) menyebutkan ada 4 kelompok keterampilan utama dalam menghadapi abad 21 yang harus diajarkan oleh sekolah kepada para siswa, yaitu:
  1. Penguasaan bidang-bidang inti (core subjects) seperti bahasa, matematika, sains, wawasan global dan keterampilan finansial.
  2. Keterampilan untuk belajar dan berinovasi (learning and innovation skills) yang meliputi kreativitas, berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah.
  3. Keterampilan di bidang teknologi, media dan informasi (information, media and technology skills)
  4. Keterampilan di bidang karir dan kehidupan (life and career skills
Keterampilan-keterampilan abad 21 tersebut dapat diajarkan melalui aktivitas dan pengalaman nyata di kelas dan sekolah (contoh-contohnya silahkan lihat atau download disini). Banyak hal yang dapat guru lakukan dan rancang sesuai dengan karakter siswa dan lingkungannya.

Daftar Rujukan:

Slavin, Robert E. (2018). Educational Psychology: Theory and Practice. Twelfth edition. New York: Pearson.

https://pixabay.com

Friday 10 May 2019

Perkembangan Sosial pada Anak

Belajar di sekolah tidak hanya berfungsi untuk mengasah kemampuan berpikir mereka, serta keterampilan-keterampilan seperti membaca, berhitung, menulis dan menggunakan teknologi. Belajar juga harus dapat membuat mereka mengalami perkembangan kemampuan sosial. Lantas apa yang dimaksud dengan kemampuan sosial?

Kemampuan atau keterampilan sosial adalah suatu kemampuan pada diri manusia untuk dapat berinteraksi dan menjalin hubungan dengan baik dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial kemampuan ini sangat penting, bahkan mungkin lebih penting dari kemampuan berpikir. Maksudnya, seseorang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik justru dapat mendatangkan masalah bagi orang lain ketika orang tersebut egois, individualistik, tidak dapat bekerjasama dan bahkan suka menyakiti perasaan orang lain.


Menurut Eggen dan Kauchak (2010) perkembangan sosial pada diri anak meliputi dua dimensi utama yaitu:
  1. Kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Menurut penelitian, kemampuan ini berkembang dengan lambat mengiringi (walaupun tidak otomatis) perkembangan kognitif anak. orang-orang dengan kemampuan ini akan dapat memunculkan empati dan kasih sayang pada orang lain. Orang-orang dengan karakter tersebut biasanya akan disukai dan dihargai oleh masyarakat di sekitarnya.
  2. Kemampuan menyelesaikan masalah sosial. Arti dari kemampuan ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi konflik yang dialaminya dengan orang lain. Dengan kemampuan tersebut ia dapat memberi jalan keluar yang membuat semua pihak merasa senang. Dalam setiap relasi pasti pernah muncul perbedaan dan konflik. Kemampuan untuk mengatasi konflik tersebut akan menentukan seberapa awet relasi berlangsung. Orang-orang yang dapat terus menjalin pertemanan, ikatan keluarga atau pun hubungan kerja dalam jangka waktu lama membutuhkan suatu proses perkembangan sosial yang baik. 
Perkembangan sosial pada anak dapat berlangsung dengan baik melalui pengalaman dan latihan. Para guru, orang tua dan pembimbing harus senantiasa memahami kondisi diri anak untuk dapat memberikan petunjuk dan nasehat yang tepat. Contoh yang baik dari mereka juga media yang baik untuk perkembangan sosial anak.

Sekolah yang tidak memperhatikan perkembangan sosial anak, walaupun banyak prestasi, umumnya sangat rentan untuk menimbulkan terjadinya bullying atau intimidasi (untuk mengetahui bentuk-bentuk bullying di sekolah silahkan klik disini). Akibatnya banyak siswa yang akhirnya trauma pada sekolah dan terhambat perkembangan mental mereka.

Daftar Rujukan:

Eggen, P. Kauchak, D. (2010).  Educational Psychology, Windows on Classrooms. Eighth Edition. Upper Saddle River: Merrill

https://pixabay.com

Problem Sampah dan Inovasi Pendidikan Lingkungan

Sampah, terutama sampah plastik, telah menjadi salah satu permasalahan lingkungan besar dunia. plastik yang membutuhkan waktu sangat lama untuk didegradasi secara alami membuat daratan dan lautan banyak dipenuhi plastik. Tidak hanya mengganggu kesehatan manusia, sampah-sampah itu juga menghilangkan keindahan, bahkan membunuh banyak spesies di lautan.


Indonesia menjadi negara terbesar kedua di dunia yang menghasilkan sampah plastik yang mencemari lautan (untuk melihat tabel negara-negara penghasil sampah plastik dunia silahkan klik disini). Hal ini tidak hanya karena Indonesia merupakan negara yang sebagian besar kawasannya adalah lautan, tetapi terutama karena kesadaran masyarakatnya untuk mengelola sampah masih kurang.

Pengelolaan sampah tidak hanya bermanfaat untuk mengatasi permasalahan lingkungan, tetapi juga dapat menjadi jenis pekerjaan yang dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup menjanjikan bagi mereka yang mau benar-benar mendalaminya.

Salah satu contoh bagaimana pengelolaan sampah dapat menghasilkan keuangan sekaligus sebagai media pendidikan adalah seperti apa yang dilakukan oleh yayasan Nara Kreatif. Yayasan yang didirikan oleh Nezatullah Ramadhan ini mengelola sampah agar dapat menjadi barang-barang yang layak dijual. Pekerjanya adalah para anak jalanan, untuk kemudian keuangan yang dihasilkan digunakan untuk biaya pendidikan dan asrama bagi anak-anak kurang beruntung tersebut.

Pendidikan lingkungan juga dapat dilakukan di sekolah melalui berbagai mata pelajaran seperti IPA, Agama, pendidikan jasmani, pendidikan kewarganegaraan dan lainnya. Pada setiap mata pelajaran tentunya masing-masing guru dapat merancang kegiatan belajar yang sesuai dengan karakternya masing-masing. Lingkungan sekolah pun harus menjadi media percontohan tentang bagaimana seharusnya sampah dikelola dengan penuh kesadaran.

Media massa pun dapat berpartisipasi dalam program pendidikan lingkungan. Televisi, koran, buku-buku serta radio dapat menyelenggaran berbagai acara inovatif yang mendorong masyarakat untuk mencintai lingkungan mereka dan bersedia untuk merawatnya.

Sumber Pustaka:

Sahwan, F. L. (2011). Sistem pengelolaan limbah plastik di Indonesia. Jurnal teknologi lingkungan6(1).

https://kbr.id/intermezzo/09-2018/nara_kreatif___ikhtiar__memenuhi_hak_pendidikan_kepada_anak_kurang_beruntung_lewat_sampah/97347.html

https://pixabay.com

Wednesday 1 May 2019

Materi Sains: Perbedaan Sel Hewan dan Sel Tumbuhan

Sel merupakan unit fungsional terkecil dalam kehidupan. Pada organisme uniseluler tubuhnya hanya tersusun atas satu sel, namun pada organisme multiseluler tubuhnya tersusun atas banyak sel. Manusia sendiri tersusun kira-kira 100 trilyun sel, sangat luar biasa bukan? yang lebih luar biasa lagi adalah sel-sel sebanyak itu harus bekerja sama dengan teratur untuk mendukung kehidupan satu orang yaitu anda.


Ternyata sel hewan dan sel tumbuhan tidaklah sama persis. Terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Agar lebih jelas kita dapat melihat perbedaan sel hewan dan sel tumbuhan melalui diagram berikut ini (untuk melihat diagram tersebut silahkan klik di sini)

Begitulah kira-kira salah satu hal cara yang dapat digunakan oleh guru ketika hendak mengajarkan perbedaan antara sel hewan dan sel tumbuhan. Pemberian diagram venn yang berisi tentang perbedaan kedua sel tersebut cukup efektif untuk mempertahankan ingatan siswa akan perbedaan pokok antara sel hewan dan sel tumbuhan.

Perlu diketahui bahwa penyajian materi sangat berpengaruh terhadap bagaimana siswa memahami dan mengingatnya. 

Sumber gambar: https://pixabay.com