Friday 19 July 2019

Sisi Negatif Reward

Semua orang, tua ataupun muda, menyukai hadiah dan pujian. Di kelas, para siswa akan sangat senang jika ia memperoleh hadiah atau tambahan nilai jika melakukan suatu tugas yang diberikan oleh guru. Untuk membuat kelas menjadi ramai oleh diskusi seringkali guru memberikan reward berupa tambahan nilai atau bahkan hadiah tertentu bagi yang sangat aktif.

Demikian pula dengan orang tua. Hadiah demi hadiah digunakan untuk memberi semangat kepada anak-anak mereka agar belajar dan menguasai keterampilan tertentu. Cara ini termasuk cukup efektif (terlihat nyata hasilnya). Dalam psikologi pendidikan metode ini disebut dengan positive reinforcement yaitu dengan pemberian reward untuk perilaku yang diharapkan muncul.

Namun sisi negatif dari penggunaan reward juga perlu diketahui oleh guru dan orang tua, agar dapat bijak menggunakannya. Benarkah reward memiliki kelemahan atau dampak negatif bagi anak?


Salah satu kelemahan dari penggunaan reward menurut beberapa peneliti seperti Kohn, Caine dan Caine adalah keampuhannya hanya berlaku pada tugas-tugas jangka pendek dan sederhana. Adapun untuk tugas yang sangat sulit biasanya reward kurang bermanfaat. Hal ini dapat kita temui pada kelas atau individu yang menganggap tugas yang diberikan adalah sulit dan lama, maka reward kurang berdampak. Untuk tugas semacam itu yang lebih efektif adalah motivasi dari dalam diri (intrinsik).

Dampak negatif dari reward yang utama adalah kemungkinan untuk mengecilnya motivasi intrinsik ketika anak atau siswa telah terbiasa melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu atas dasar iming-iming hadiah atau reward tertentu. Bukankah dengan demikian kita justru menghilangkan sesuatu yang sangat berharga dalam diri anak? Dalam kehidupan manusia motivasi intrinsik merupakan sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan diri.

Terkait dengan hasil-hasil penelitian (misalnya Kohn, Caine, Walker, dan Ormrod) menunjukkan bahwa tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa reward dapat membuat pembelajaran menjadi benar-benar mendalam dan bermakna. Sebaliknya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa motivasi intrinsik secara kondusif membuat kelas menjadi aktif, mendukung berpikir kritis, pemecahan masalah serta memori jangka panjang.

Dengan demikian, sebaiknya guru dan orang tua berhati-hati dalam memberikan reward. Jangan menjadikannya satu-satunya cara memotivasi anak. Lebih utamakan untuk menggunakan motivasi intrinsik. 

Sumber Pustaka:

Churchill, R., dkk. (2016) Teaching Making a Difference. Third edition. 42 McDougall St, Milton Qld 4064: John Wiley & Sons Australia, Ltd.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com 

Friday 12 July 2019

Semua Aktivitas adalah Belajar; antara Coba-coba (Trial and Error) dan Meniru (Modeling)

Kalau tidak mau mencoba maka tidak mungkin anak akan berkembang. Sering kita temui anak-anak mencoba melakukan sesuatu dengan penuh keberanian misalnya saat belajar berjalan atau bersepeda, berulang-ulang. Kegagalan demi kegagalan akan mengantarnya pada penguasaan. Para ahli psikologi perilaku menganggap bahwa metode trial and error (coba-coba) adalah metode utama pada diri anak-anak (untuk lebih jelasnya silahkan baca disini).

Berbeda halnya dengan pendapat para ahli psikologi kognitif sosial seperti Bandura dan Zimmerman, yang menganggap bahwa bukan coba-coba yang menjadi metode utama anak-anak untuk belajar dan menguasai berbagai pengetahuan atau keterampilan. Bukan coba-coba, tetapi metode meniru (modeling). Anak-anak belajar berbicara, berjalan, berlari atau naik sepeda bukan dari coba-coba murni, melainkan meniru apa yang telah berhasil dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. 


Metode meniru membuat keberhasilan para pendahulu untuk menciptakan keterampilan, peralatan dan pengetahuan tertentu dapat diwariskan dengan baik. Hewan-hewan sebenarnya juga memiliki metode meniru untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan dalam bertahan hidup. Burung meniru induknya untuk terbang, mencari makan dan membuat sarang. Namun berbeda dengan hewan, menurut Vygotsky peniruan yang dilakukan manusia tidak bersifat copy-paste atau 100% sama dengan yang ditiru. Dalam peniruan itu ada unsur konstruktif sehingga hasilnya tidak benar-benar sama dengan sebelumnya. Dan itulah yang menghasilkan kemajuan dan perkembangan dalam hidup. Generasi demi generasi mengalami perubahan, walaupun juga tidak benar-benar berbeda karena unsur imitasi.

Jadi? Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orang tua?

Jangan berlebihan melarang ketika melihat anak mencoba sesuatu (selama itu positif dan tidak berbahaya). Karena kemauan untuk mencoba merupakan indikator bahwa anak memiliki motivasi dan kreativitas untuk mempelajari sesuatu. Jika bisa berilah petunjuk yang akan memudahkan mereka.

Jadilah contoh yang baik karena semua perilaku kita akan direkam oleh otak anak (walaupun mereka sendiri juga tidak menyadarinya, dan mengatakan akan meniru perilaku kita). Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, demikian pepatah bijak orang dulu untuk menggambarkan bagaimana proses modeling berlangsung alami tanpa dibuat-buat.

Sumber Pustaka:

Ormrod, J.E. (2016). Human Learning. Seventh Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com

Thursday 11 July 2019

Asal-usul Kecenderungan Meniru pada Manusia

Pada pembahasan mengenai kecenderungan anak atau bahkan manusia untuk melakukan peniruan (yang belum membaca silahkan klik disini), kita mungkin bertanya-tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mengapa manusia mudah meniru perilaku orang-orang di sekitarnya. Mengapa seorang anak labat laun menjadi pribadi yang begitu mirip dengan orang tuanya, bukan hanya fisik tetapi juga sikap dan kebiasaan-kebiasaannya.


Setelah berbagai penelitian mengenai betapa efektifnya belajar melalui peniruan (imitasi), para ahli bertanya-tanya dari mana sebenarnya sifat ini berasal? Apakah tertanam di dalam gen. Namun bagaimana mekanismenya?

Pada tahun 80-an, para ahli psikologi dan saraf mengamati bahwa peristiwa peniruan ternyata telah mulai berlangsung sejak bayi baru berumur satu atau dua hari. Mereka dapat menirukan ekspresi wajah dari pengasuh yang mengajak bicara atau gurau mereka. Kemampuan tersebut menunjukkan kesiapan bayi untuk belajar menjadi manusia dewasa sebagaimana layaknya para pengasuhnya. Para tahun 90-an para ahli akhirnya menemukan jawaban dari asal kemampuan untuk meniru tersebut.

Asal utama kemampuan menirukan perilaku orang lain adalah keberadaan neuron cermin (mirror neurons). Yaitu sekumpulan neuron yang menjadi aktif ketika seseorang melihat orang lain melakukan suatu aktivitas. Semakin sering kita melihat orang lain melakukan suatu aktivitas maka kecenderungan untuk menirukan aktivitas tersebut juga semakin besar. Hal tersebut sangat kuat terutama pada anak-anak.

Ternyata neuron cermin tidak hanya dimiliki oleh manusia. Hewan-hewan juga memiliki neuron ini. Oleh karena itu mereka dapat belajar (walaupun sederhana sesuai dengan kapasitas otaknya) menirukan perilaku inang pengasuhnya. Bahkan manusia dapat melatih hewan-hewan tertentu untuk dapat melakukan aktivitas yang tidak biasa dilakukan oleh hewan tersebut seperti misalnya pada hewan-hewan di sirkus.

Sumber Pustaka:

Ormrod, J.E. (2016). Human Learning. Seventh Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com

Tuesday 9 July 2019

Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)

Berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diharapkan dapat dikuasai dan menjadi bagian dari perkembangan siswa melalui proses belajar mengajar di sekolah telah dirancang oleh para penentu kebijakan dan guru melalui rancangan kurikulum sekolah (mengenai kurikulum silahkan baca lebih detail disini). Namun, berdasarkan penelitian para ahli, selama proses belajar-mengajar banyak hal yang juga dipelajari oleh siswa walaupun tidak tersirat di dalam kurikulum yang diterapkan.


Pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang walaupun tidak tersirat dalam kurikulum juga ikut dipelajari selama proses pembelajaran disebut hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Sebagai contoh bagaimana sikap guru kepada siswa, siswa kepada guru dan siswa kepada siswa adalah jenis pembelajaran sikap. Ketika guru menegur siswa yang tidak membersihkan dulu alat yang telah dipakai merupakan contoh hidden curriculum untuk keterampilan dan sikap ilmiah.

Jika guru hendak lebih teliti memperhatikan proses belajar-mengajar yang dilakukannya bersama para siswa maka ia akan menemukan banyak sekali hidden curriculum. Karena seringkali diulang-ulang, kurikulum tersembunyi tersebut bahkan seringkali lebih kuat dampaknya dalam diri siswa daripada kurikulum sekolah yang tertulis. Bahkan walaupun ia tidak dinilai dan dimasukkan ke dalam ujian.

Churchill, dkk (2016) menyebutkan bahwa kurikulum tersebunyi dapat bermanfaat bagi siswa atau sebaliknya. Misalnya dalam ujian guru tidak menegur siswa yang menyontek, bahkan mendorongnya agar semua siswa naik kelas, sehingga mereka terbiasa tidak jujur. Guru harus mempertimbangkan berbagai dampak jangka panjang dari kurikulum tersembunyi yang berlangsung.

Sumber Pustaka:

Churchill, R., dkk. (2016) Teaching Making a Difference. Third edition. 42 McDougall St, Milton Qld 4064: John Wiley & Sons Australia, Ltd.

Sumber Gambar:

https://pixabay.com 

Friday 5 July 2019

Aturan di Dalam Kelas

Masyarakat memiliki aturan baik tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menjaga kehidupan yang tenang dan aman. Demikian pula dengan kelas. Aturan-aturan dibutuhkan untuk menjaga kondisi yang nyaman untuk belajar bagi semua siswa. Tidak ada gangguan bagi sebagian siswa karena sebagian lain menjadi pengganggu.

Semua sekolah pada dasarnya telah memiliki aturan, namun bisa jadi aturan-aturan tersebut tidak berjalan karena tidak ada upaya dan kerjasama yang baik antara guru dan siswa untuk memahami dan menjalankannya. Seringkali siswa, apalagi mereka di kelas-kelas bawah, melanggar aturan karena memang belum memahami aturan tersebut.


Aturan kelas memiliki perbedaan dengan aturan sekolah (walaupun ada juga aturan sekolah yang menjadi aturan kelas) karena aturan kelas lebih khusus menjadi pemandu bagi siswa dan guru pada perilaku mereka ketika berada di dalam kelas. Karakter kelas yang berbeda dapat menghasilkan peraturan kelas yang juga berbeda. Anak kelas satu dan kelas enam sangat mungkin membutuhkan unit aturan kelas yang berbeda karena kondisi psikologis mereka telah berkembang.

Untuk menyusu peraturan kelas yang efektif, Garret (2014) menyebutkan beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh guru:
  1. Beberapa aturan yang masuk akal untuk dijalani, Aturan yang terlalu banyak akan menyulitkan siswa (dan bahkan guru sendiri) untuk mengingat dan menjalankannya. Perlu diperhatikan perilaku apa yang penting untuk diatur misalnya menghargai teman, tepat waktu, hati-hati dengan peralatan dan menjaga kebersihan.
  2. Hati-hati "membahasakan" aturan. Sebaiknya lebih terfokus pada perilaku positif agar aturan lebih mendorong kelas yang aktif, bukan ketakutan. Selain itu bahasa yang digunakan harus benar-benar dapat mudah dipahami oleh semua siswa.
  3. Pertimbangkan kultur siswa. Mungkin guru berasal dari daerah lain sehingga perlu mempelajari kebiasaan dan kultur masyarakat asal siswa. Jangan sampai perilaku yang dilarang di masyarakat justru didorong untuk dilakukan atau sebaliknya. 
  4. Beri contoh bagaimana aturan diterapkan dan dipatuhi. Jika guru justru menjadi seseorang yang tidak mematuhi aturan maka aturan hanya akan menjadi "musuh" bagi siswa.
  5. Tempatkan daftar aturan kelas di tempat yang mudah dibaca.
  6. Beri kesempatan pada siswa untuk mengkritisi dan mengambangkan aturan.
Bagaimana untuk menyusun dan menerapkan aturan di kelas, setiap guru kemungkinan memiliki cara tersendiri sesuai dengan pengalaman dan karakter siswa mereka. Berikut ini adalah contoh bagaimana guru melakukannya (klik disini).

Daftar Rujukan:

Garret, T. (2014). Effective Classroom Management; The Essentials. New York: Teachers College Press.

https://pixabay.com