Thursday 23 July 2020

Cipta, Rasa dan Karsa Manusia


Pendidikan adalah suatu tuntunan yang diberikan agar seorang anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Tumbuh dan berkembang di sini terutama merupakan aspek kejiwaannya. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bagaimana jiwa manusia tersusun atas tiga kekuatan (trisakti) utama yaitu cipta (pikiran), rasa (hati) dan karsa (kemauan). Konsep mengenai tiga kekuatan jiwa manusia telah ada dalam pemahaman masyarakat Indonesia sebelum ilmu pengetahuan modern membahas jiwa.


Cipta atau kekuatan untuk berpikir adalah suatu bagian di dalam jiwa manusia dalam mengenali, memahami, mengingat dan menyimpulkan berbagai obyek dan fenomena di sekitarnya. Dengan pikiran manusia dapat menemukan kebenaran dan membedakannya dari sesuatu yang salah. Pikiran juga dapat menghasilkan ide-ide baru yang sangat penting bagi perkembangan kualitas hidup manusia.

Kekuatan jiwa kedua adalah rasa, yaitu segala gerak dan perubahan hati sehingga manusia dapat merasakan senang, sedih, kecewa, malu, bangga, kasihan, benci, sayang dan lain sebagainya. Perasaan dialami oleh hati, bukan pikiran. Walaupun demikian keduanya saling berpengaruh. Pikiran dapat menenangkan atau mengguncang perasaan, sebaliknya perasaan dapat mempercepat atau mengganggu pikiran kita. Manusia bukan robot atau mesin berpikir karena ia memiliki hati yang dapat merasakan berbagai nuansa peristiwa atau kejadian yang dialaminya.

Kekuatan ketiga adalah karsa atau kehendak atau kemauan. Kehendak ini merupakan dorongan alami dari dalam diri manusia (Ki Hadjar menyebutnya hawa nafsu kodrati). Perbedaan antara nafsu hewan dengan kehendak pada diri manusia adalah proses yang dialami oleh dorongan diri sebelum menjadi perbuatan. Pada diri manusia dorongan yang berasal dari nafsu akan dipertimbangkan oleh akal pikiran serta diperhalus oleh perasaan sebelum berbuah menjadi perilaku. Sedangkan pada hewan hal tersebut tidak terjadi.

Selanjutnya Ki Hadjar menjelaskan bahwa kesatuan ketiga kekuatan itulah yang disebut dengan budi manusia. Kualitas ketiganya menentukan apakah manusia akan hidup bermanfaat atau merusak. Dengan demikian pendidikan tidak boleh hanya mengutamakan salah satu kekuatan jiwa tersebut.

Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Saturday 18 July 2020

Irama Dalam Pendidikan Anak


Anak sangat menyukai irama dalam hidup. Lihatlah bagaimana seorang ibu menenangkan atau menidurkan bayi mereka dengan mengayun-ayun anak di gendongan atau menyanyikan lagu pengantar tidur tertentu. Keduanya sama-sama mengandalkan irama, baik irama dalam gerakan maupun irama dalam suara. Adalah kodrat anak menyukai irama yang indah.

Ketika anak bermain kita juga dapat menyaksikan irama tertentu. Banyak sekali lagu anak-anak dalam budaya tradisional Indonesia. Demikiam pula dengan permainan tradisional. Di dalamnya terkandung irama yang indah, sesuai dengan kondisi alam yang daerah tropis yang nyaman.

Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa irama dalam gerakan, suara, bentuk maupun warna sangat penting untuk menjadi bahan pendidikan anak. Irama akan ditangkap oleh indera, pikiran dan jiwa anak sehingga mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang, beretika dengan sesama, dekat pada alam bahkan Tuhan. Ada banyak sekali permainan dan lagu tradisional yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.


Pendidikan anak yang hanya berorientasi pada kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual hanya akan menghasilkan pribadi yang kaku dan kering. Mungkin mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kurang memiliki keterbukaan serta empati pada sesama manusia dan lingkungannya. Selain itu jiwa mereka akan kering sehingga mudah terdampak oleh tekanan sosial ekonomi.

Dapat kita temui betapa banyak orang tua dan guru yang terburu-buru untuk mengajari anak mereka dasar ilmu pengetahuan seperti membaca dan berhitung di masa yang sangat dini. Mereka menganggap bermain dan bernyanyi hanya sebagai hiburan dan dilakukan oleh sebagian besar anak karena malas belajar. Mereka menuntut TK tidak terlalu banyak mengajarkan bermain untuk anaknya.

Tanpa disadari tekanan yang terlalu besar pada aspek akademik membuat anak gampang stres dan melakukan tindak kenakalan. Jiwa mereka jauh dari ketenangan dan keseimbangan. Jika pun berprestasi mereka selalu cemas akan jatuh dan dikalahkan. Sekolah menjadi tempat yang sangat menyiksa.

Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.


Wednesday 15 July 2020

Belajarlah Agar Hidupmu Bahagia

Masih dapat saya ingat dengan jelas bagaimana marahnya orang tua jika saya malas mengerjakan tugas sekolah, mengaji atau ketika diminta membantu orang tua bekerja. Kemarahan itu lalu menguap, menjadi mendung dan akhirnya turunlah hujan nasehat. Macam-macam nasehat itu, sesuai kondisi dan bagaimana kesalahan yang saya lakukan, tapi jika dapat diambil sari patinya dapatlah saya tuliskan, " belajarlah agar hidupmu bahagia!"

Sebenarnya bukan bahagia yang dipakai orang tua saya, tetapi selamat atau menjadi orang yang berhasil. Ada juga orang tua teman yang menggunakan kata sukses. Di waktu yang lain, nasehat disajikan dalam bentuk kontradiksi yaitu contoh-contoh kemalangan atau penderitaan orang akibat malas belajar di waktu muda. Contoh tersebut mereka ambil dari masyarakat sekitar dengan harapan saya tergugah betul untuk menghentikan kemalasan belajar.

Saya teringat pada pernyataan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Beliau menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu tuntutan untuk tumbuh kembang anak sesuai kodrat mereka dalam rangka mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kata setinggi-tingginya bermakna tidak ada batasan untuk belajar. Selain itu kebahagiaan tidak hanya bermakna kebahagiaan dalam hidup tetapi juga kebahagiaan setelah hidup, selamanya.

Sejak kecil kita selalu ditanya mau jadi apa setelah besar nanti. Macam-macam jawabannya, tentu anda sekalian ingat apa jawaban anda masing-masing di waktu itu. Lalu orang tua akan mengatakan untuk rajin belajar agar keinginan atau cita-cita itu tercapai. Fenomena yang umum terjadi di masyarakat ini juga menggambarkan bahwa sejak kecil anak telah diarahkan dan diberi semangat oleh orang tua untuk belajar demi kebahagiaannya di masa depan.

Orang Sukses yang Tidak Bahagia

Profesi tertentu yang dicita-citakan sebagai model kebahagiaan seringkali membuat pandangan orang tua tertutupi. Akibatnya susah payah orang tua dan anak berjuang demi mencapai cita-cita tersebut, tak peduli bagaimana pun jalannya. Akibatnya profesi yang diidam-idamkan itu tidak mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Hal semacam ini banyak kita temui.

Contoh bagaimana "orang sukses" yang ternyata tidak hidup bahagia dapat kita petik di lingkungan sekitar kita. Lihatlah bagaimana pejabat tinggi yang semakin merasa kurang sehingga melakukan korupsi. Lihat juga bagaimana para artis ternama yang selalu hidup dalam tekanan sehingga narkoba dan bunuh diri menjadi pelarian. Tak sedikit kita temui bagaimana ributnya keluarga orang kaya dalam memperebutkan harta warisan.

Fenomena orang yang kita anggap sukses ternyata tidak bahagia menunjukkan bahwa kebahagiaan berada pada diri manusianya bukan pada pakaian luarnya. Oleh karena itu betapa malangnya hidup yang semata-mata diisi dengan memperjuangkan pakaian luar tersebut.

Menyelami Makna Bahagia

Memahami betul makna bahagia menjadi penting, sehingga orang tua, pendidik dan anak tidak salah langkah dalam hidup. Bahagia adalah kata sederhana yang sangat sering diucapkan, tapi sebenarnya apa makna dari kata tersebut?

Anak-anak yang sedang bermain atau makan kue-kue yang disukai akan merasakan suatu pengalaman yang menyenangkan. Seseorang yang baru saja dapat membeli mobil tentu akan merasa senang luar biasa. Apakah seperti itu bahagia? Sebagian benar namun sebagian lagi tidak.

Mengapa demikian? Sebagian benar karena memang salah satu ciri bahagia adalah perasaan positif seperti senang. Sebagian salah karena masih ada bentuk perasaan lain dalam kebahagiaan seperti tenang, terharu, kagum, lega dan mungkin masih ada lagi. Selain itu kesenangan yang disebabkan oleh hal-hal fisik seperti mainan, makanan atau barang-barang memiliki batas. Beberapa waktu kemudian hal-hal tersebut bisa jadi tidak menyenangkan atau bahkan membosankan. Makanan yang tak terkontrol dan berlebihan bahkan dapat mendatangkan penyakit.

Kebahagiaan bentuk lain adalah ketika kita memperoleh penghargaan dan kasih sayang dari orang lain. Penghargaan dari masyarakat akan mendatangkan rasa puas. Kasih sayang dari keluarga akan mendatangkan rasa nyaman dalam hidup. Keduanya merupakan bagian dari bahagia. Namun kedua hal tersebut juga memiliki batasan. Seseorang dengan penghargaan dan kasih sayang yang melimpah seringkali tak merasakannya lagi. Ia menginginkan hal yang lain.

Demikian pula dengan kesehatan yang teramat berharga. Banyak di antara kita yang tak lagi merasakan nikmatnya sehat di kala tubuh sedang normal dan kuat. Nikmat itu baru disadari ketika diri dilanda sakit.

Sedikit pembahasan ini mengantar kita pada suatu kesadaran bahwa penyebab utama bahagia bukan pada aspek eksternal seperti makanan, permainan, barang-barang baru, kasih sayang, penghormatan atau bahkan tubuh yang sehat. Bahagia lebih disebabkan oleh kemampuan diri dalam menikmati (mensyukuri) semua bentuk kebahagiaan yang mendatangi kita.


Penulis memiliki pengalaman berharga bertemu dengan seorang guru dari Sumenep yang tidak memiliki tangan. Dapat anda bayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa kedua tangan. Betapa menderita dan menyedihkan hidup pastinya. Tapi sungguh mengagumkan, guru tersebut tetap bisa menjalani hidup hanya dengan kedua kaki. Tidak hanya sekedar hidup, ia bahkan bisa menjadi seorang guru yang mengajar dan menulis di depan kelas.

Ada banyak hal yang seharusnya menghasilkan kebagiaan bagi hidup kita setiap hari. Mulai dari udara segar di pagi hari, kehangatan dan tubuh yang sehat, makanan yang disediakan keluarga memberi energi, obrolan ringan dengan anak-anak, pekerjaan yang menghasilkan kecukupan kebutuhan, aneka informasi yang membuat fres pikiran, waktu ibadah yang menanangkan, adanya kesempatan untuk berdiskusi meluaskan wawasan dan pandangan hidup. Dan mungkin masih banyak lagi, yang tak dapat disebut satu persatu. Sayangnya kita lemah dalam mensyukurinya sehingga justru hanya sibuk dengan masalah yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Ditambah lagi anggapan bahwa kebahagiaan diukur dari banyaknya uang, rumah megah, kendaraan serta jabatan tinggi.

Seorang ulama, sastrawan, sufi dan pecinta filsafat Indonesia yaitu Buya Hamka pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, "Segala sesuatu yang ada di alam ini, baik dan buruknya bukan pada zat sesuatu itu, tetapi orang yang menerimanya. Tidak berharga pena bagi orang yang tidak pandai menulis, juga Al-Qur'an bagi seorang nonmuslim yang tak mengerti dan percaya isinya. Demikian pula intan permata hanya akan menjadi mainan bagi seorang anak kecil atau orang gila."

Kemampuan untuk Mensyukuri Hidup

Syukur menunjukkan bahwa seseorang dapat merasakan kebahagiaan atas apa yang dialami, dimiliki atau diterimanya. Sayangnya itu tidak mudah dilakukan. Seorang anak kecil tidak akan bersyukur ketika dilarang membeli manisan. Demikian pula dengan seseorang yang terheran-heran melihat bagaimana nikmatnya orang lain membaca buku, karena ia sendiri jarang membaca. Jangan harap orang tersebut akan bersyukur ketika anda memberi ia hadiah sebuah buku bagus. 

Kemampuan mensyukuri nikmat membutuhkan semua elemen kemanusiaan kita, mulai dari kepekaan indera, kinerja pikiran, perasaan hingga  spiritual.

Semua kebaikan dan keindahan kita terima melalui indera. Maka semaki peka indera semakin terbuka diri kita pada sumber-sumber kebahagiaan yang mengelilingi hidup. Mulai dari udara, air, kehangatan, cahaya, makanan, tempat berlindung, perabot, pakaian, musik atau pemandangan indah. Semua nikmat itu datang melalui indera. Tapi bisa jadi nikmat berkurang jika perasaan dan pikiran kita tak jalan.

Musik atau film bisa jadi tak menghibur pada seseorang yang tidak memahami atau perasaannya keras. Air terjun yang sejuk, bersih dan besar akan semakin mengagumkan bagi seorang ahli lingkungan. Kualitas perasaan dan pikiran akan menentukan bagaimana kemampuan seseorang menikmati sesuatu dan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Tidak kalah penting adalah elemen spiritual, yaitu kesadaran seseorang akan keberadaan Tuhan di balik semua yang ada di alam. Air terjun yang megah tidak hanya terlihat indah dan besar manfaat ekologisnya, tetapi menunjukkan keagungan yang lebih besar. Manusia dengan kepekaan indera, perasaan dan pikiran akan mudah berterimakasih pada orang lain. Tapi yang juga peka spiritual akan lebih dari itu, ia akan senantiasa bersyukur pada Tuhan.

Rasa syukur akan menjadikan hidup menjadi nikmat, bagaimana pun bentuknya, apapun jenis profesi yang digeluti. Hidup yang nikmat akan memaksimalkan kinerja sehingga menjadi lebih produktif. Indera, perasaaan, pikiran dan spiritual yang dilingkupi syukur umumnya akan terdorong untuk membagi nikmat kepada orang lain, mulai dari yang terdekat seperti keluarga.

Lalu Bagaimana Seharusnya Belajar Agar Bahagia?

Harusnya kita menjadi lebih terbuka dengan beberapa penjelasan di atas. Belajar yang mengantarkan seseorang pada keselamatan dan kebahagiaan adalah yang benar-benar dapat secara seimbang mengembangkan semua potensi kemanusiaan yang dimiliki anak. Tidak hanya salah satu, misalnya pikiran atau koginitif saja.

Aktualisasi semua potensi diri tersebut  akan berjalan lancar jika dilandasi kemauan untuk mengenali dan menerima keadaan diri. Orang tua atau guru tidak memaksa atau menuntut anak di luar batas alami kemampuan mereka. Belajar akan dipenuhi oleh kebahagiaan dan syukur sejak dini.

Referensi:
  • Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
  • Hamka (1981). Tasawuf Modern. Yayasan Nurul Islam.