Friday 9 February 2018

Tujuh Pengetahuan Guru Menurut Shulman


Setiap manusia, terutama yang telah dewasa dan memiliki anak, pastilah memiliki suatu dorongan di dalam batinnya untuk mendidik. Dorongan alami ini disebut dengan pedagogical instinc. Dengan dorongan tersebut para orang tua akan berupaya sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak mereka. Pengalaman semasa kecil (dalam perawatan orang tua) atau ketika bersekolah akan memberi mereka pengetahuan untuk melakukan aktivitas pendidikan.

Namun pengetahuan dan keterampilan mendidik yang hanya diperoleh dari pengalaman umum manusia saja belum cukup bagi seorang guru. Seperti yang telah kita ketahui bersama, guru adalah profesi yang bertugas mendidik anak-anak melalui proses belajar mengajar di sekolah, umumnya melalui suatu bidang mata pelajaran tertentu.

Guru adalah pendidik profesional yang perannya akan membantu orang tua dan masyarakat. Salah satu perbedaan pendidikan yang dilakukan guru adalah pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan tertentu. Walaupun begitu aspek pendidikan budi pekerti (sebagai inti pendidikan di rumah-sekolah-masyarakat) tetap harus menjadi perhatian utama.

Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, maka guru menurut Shulman harus menguasai tujuh pengetahun sebagai berikut:
  1. ‌Pengetahuan konten, yaitu pengetahuan mengenai bidang ilmu yang akan diajarkan.
  2. ‌Pengetahuan pedagogi umum, dengan menekankan pada prinsip-prinsip dan strategi manajemen kelas dalam rangka transfer materi pelajaran.
  3. ‌Pengetahuan tentang kurikulum.
  4. ‌Pengetahuan pedagogik konten (pedagogical content knowledge), merupakan perpaduan antara pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogik yang khusus untuk masing-masing bidang guru (untuk lebih jelas dan lengkap mengenai pck silahkan baca atau download di link berikut http://metastead.com/96Nv)
  5. ‌Pengetahuan tentang anak didik dan karakteristik mereka.
  6. ‌Pengetahuan tentang konteks pendidikan, mulai dari kondisi kelas, sekolah, pemerintahan hingga kultur masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan anak.
  7. ‌Pengetahuan mengenai tujuan, sejarah dan filsafat pendidikan.

Referensi:
Shulman, L.S. (1987). Knowledge and Teaching: Foundation of New Reform. Harvard Educational Review, vol. 57, no. 1, p. 1-22. 

Friday 2 February 2018

Diet Informasi dalam Pendidikan Perspektif Ki Hadjar


Di dunia kita saat ini pengetahuan begitu cepat tumbuh dan tersebar. Kalau anda hendak mengetahui sesuatu, tak perlulah repot-repot. Melalui android di genggaman, berbagai jenis informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Mesin pencari informasi Google seolah tahu segalanya (karenanya disebut mbah) dan dia tidak pelit. Berbagai media lain seperti televisi, aplikasi berbasis jejaring sosial dan youtube, juga turut meramaikan arus informasi di dunia kita saat ini. 

Begitu mudah dan melimpahnya informasi tidak lantas membuat kehidupan menjadi lebih baik. Kita menjadi lebih banyak disibukkan dengan informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan, mulai dari hiburan, gosip, iklan produk hingga informasi palsu (alias hoax) dan kalimat-kalimat penyebar kebencian. Timbunan informasi justru tidak membuat kita bertambah pengetahuan atau menjadi bijak. Sebaliknya, pikiran dan waktu kita lebih banyak mengkonsumsi informasi sampah. Akibatnya, kita menjadi obesitas informasi. 

Saat ini telah banyak ahli, misalnya Tim Ferriss penulis kenamaan lulusan Princeton University, yang menyarankan untuk melakukan diet informasi. Seperti halnya makanan bagi tubuh, informasi juga tidak boleh berlebihan memasuki otak kita. Berbagai informasi sampah yang memasuki otak hanya akan diam tidak berguna, membuat kita mengalami obesitas. Seperti halnya makanan sampah yang menimbulkan efek adiksi, informasi sampah juga membuat kita kecanduan. 

Di sini kita tidak akan membahas mengenai bagaimana cara diet informasi menurut Tim Ferriss atau penulis dan para ahli yang lain. Berhubungan dengan pendidikan, kita akan flashback mengulas pandangan Bapak Pendidikan Ki Hadjar yang sejak awal telah mewanti-wanti tentang bahaya dari sikap mendewa-dewakan pikiran dan pengetahuan (yang beliau sebut dengan istilah intelektualisme).

Sejak awal pembangunan pondasi pendidikan nasional, Ki Hadjar telah menentang sikap yang menempatkan pikiran, intelektual dan pengetahuan sebagai puncak dari tujuan pendidikan. Walaupun intelektual dan pengetahuan itu penting, namun beliau hanya menempatkan pendidikan intelektual dan keterampilan sebagai bagian dari pendidikan budi pekerti. Karena budi pekerti itulah yang akan membawa manusia pada keselamatan dan kebahagiaan berjangka panjang. 

Ki Hadjar memaknai budi pekerti sebagai persatuan gerak pikiran, perasaan dan kemauan (cipta, rasa dan karsa) dalam wujud karakter atau watak manusia. Dengan budi pekerti manusia dapat menjadi pribadi yang merdeka, yaitu yang mampu mengatur dirinya sendiri hingga dapat berperan di masyarakat (beradab). Pendidikan yang hanya mengutamakan pengetahuan intelektual menurut ki hadjar hanya akan menghasilkan kemurkaan diri (individualisme) dan kemurkaan benda (materialisme). Hal ini bertentangan dengan sifat pendidikan bangsa kita yang menjunjung keluhuran budi.

Untuk itulah pendidikan harus dilakukan secara lebih utuh. Tidak hanya berupa transfer informasi dan pengetahuan belaka. Anak-anak harus diperkaya dengan pengalaman lahir (nglakoni) dan pengalaman batin (ngrasa). Bahkan, pendidikan intelektual pada usia awal (dini) menurut Ki Hadjar sebaiknya sedikit saja diberikan. Anak-anak pada masa awal harus dikuatkan batinnya melalui latihan indera dan aktivitas yang menyenangkan seperti permainan dengan gerak aktif, cerita dan nyanyian. Para guru dan orang tua menuntun dengan penuh kasih sayang.

Di masa sekarang, ketika anak-anak telah dibebaskan untuk menggunakan gadget maka mereka akan cenderung kurang aktivitas dan menutup diri. Perkembangan yang dialami hanyalah kognitif. Untuk itu, diet informasi harus dilakukan sejak awal dengan menentukan masa yang tepat, kapan anak-anak diberi kebebasan untuk menggunakan gadget. Sejak dini anak-anak harus memiliki pengalaman tentang perasaan senang ketika belajar berbagai hal secara aktif di alam nyata.

Ketika anak-anak telah semakin besar, Ki Hadjar menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan tidak hanya diajarkan secara tekstual tetapi lebih banyak dengan pengalaman nyata seperti eksperimen dan dialog. Selain ilmu pengetahuan, mereka juga diajari nilai-nilai luhur dan keindahan melalui agama, seni dan ilmu adab. Sekali lagi, pengalaman lahir (nglakoni) dan pengalaman batin (ngrasa) menjadi metode utamanya. 

Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa untuk menggunakan dan mengkonsumsi informasi secara sehat. Belajar adalah persiapan hidup secara nyata, bukan hanya menumpuk informasi di dalam pikiran atau hidup di alam maya. 

Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Gambar:
https://pixabay.com