Monday 30 March 2020

Portofolio untuk Mengevaluasi Hasil Belajar

Dalam asesmen pembelajaran  para guru dan calon guru tentu telah sangat akrab dengan istilah portofolio. Ia adalah salah satu metode dalam melakukan penilaian dan evaluasi hasil belajar siswa. McMillan mendefinisikan portofolio sebagai suatu proses sistematis untuk mengumpulkan dan mengevaluasi hasil penilaian formatif dan sumatif siswa dalam rangka membuktikan pencapaian hasil belajar atau menunjukkan bagaimana perkembangan siswa.


Dokumen yang dikumpulkan untuk portofolio dapat berbentuk hasil nyata maupun digital. Yang jelas dokumen-dokumen yang dikumpulkan harus sesuai dengan tujuan tertentu (biasanya mengacu pada standar yang digunakan oleh guru dalam mengajar). Dalam pengumpulan dokumen, sebaiknya guru secara jelas memberitahu siswa apa saja yang menjadi komponen dalam portofolio, dengan tujuan agar siswa juga dapat melakukan refleksi diri.

Secara umum terdapat dua jenis portofolio yaitu:
  1. Portofolio dokumentasi. Yaitu portofolio yang disusun dengan tujuan untuk menggambarkan (membuktikan) pencapaian belajar siswa. 
  2. Portofolio perkembangan. Yaitu portofolio yang disusun dengan tujuan untuk menunjukkan bagaimana perubahan kompetensi siswa dari waktu ke waktu.  Pada jenis ini dokumen yang dikumpulkan telah direncanakan pada waktu-waktu yang teratur dan berurutan sehingga dapat menunjukkan perkembangan siswa secara sistematis.
Kelebihan metode penilaian dan evaluasi menggunakan portofolio adalah kemampuannya untuk menunjukkan secara kongkrit bagaimana perkembangan belajar siswa. Selain itu siswa dapat lebih reflektif terhadap hasil belajar mereka (karena di dalam portofolio feedback guru akan lebih dipahami siswa) sehingga kemungkinan untuk lebih termotivasi belajar lebih tinggi.

Portofolio juga memiliki kelemahan, yang pertama adalah membutuhan waktu dan energi yang besar untuk mengumpulkan dokumen dan menilainya sehingga memberi gambaran yang sistematis tentang hasil belajar siswa. Selain itu berbagai jenis dokumen yang dikumpulkan, serta kemungkinan berbeda untuk tiap individu,  membuat reliabilitas penilaian menjadi berkurang. Yang juga terjadi adalah kesulitan orang tua untuk memahami bagaimana keterkaitan antara masing-masing dokumen sehingga mereka dapat membantu siswa untuk memperbaiki diri.

Bagi guru pun metode portofolio membutuhkan pelatihan dan pengalaman, sehingga menghasilkan keuntungan maksimal bagi proses belajar siswa.

Referensi:
McMillan, J.H. (2018). Classroom Assessment, Principles and  Practice that Enhance Student Learning and Motivation. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday 25 March 2020

Rasa Ingin Tahu Anak

Setelah berusia sekitar satu tahun, anak akan memulai babak baru dalam kehidupannya. Ia akan mulai belajar berbicara, belajar berjalan, mengeksplorasi obyek-obyek sekitar dengan lebih aktif dan mengenali diri. Mulai dari usia ini anak akan menjadi sangat aktif, sulit untuk duduk manis dan diam. Mereka ingin tahu segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Kodrat anak memang dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin menjamah semua benda yang ada di sekitarnya. Mereka mengamati bagaimana tingkah polah hewan-hewan dan berusaha menirukan suaranya. Ketika mulai bisa berbicara mereka akan banyak bertanya.


Bagi orang tua yang kurang memahami arti penting rasa ingin tahu, mereka akan menganggap anak yang mengambil semua benda yang dilihat dan melemparnya sebagai nakal. Pernahkan anda melihat orang tua yang cuek dengan berbagai pertanyaan anak? Sikap tersebut dilandasi oleh pemahaman yang salah tentang rasa ingin tahu anak sebagai sesuatu yang tidak penting untuk didukung dan ditumbuhkan.

Rasa ingin tahu membuat anak (siapapun mereka) selalu menjadi seolah pelajar yang luar biasa. Pernah kesulitan belajar bahasa inggris atau jepang? Hal itu tidak berlaku pada anak. Dimana pun mereka dilahirkan, maka bahasa masyarakat di tempat itu akan segera dikuasainya. Anak seorang petani tidak kesulitan untuk menguasai berbagai keterampilan bertani, demikian pula dengan anak nelayan, tukang atau ahli silat.

Rasa ingin tahu yang didukung akan menumbuhkan karakter positif bagi diri anak. Mereka akan mengalami perkembangan maksimal, baik fisik maupun mental. Tentu saja ada batasan-batasan dalam memberikan dukungan agar tidak justru menghasilkan dampak negatif.

Salah seorang pakar pendidikan anak dunia, Maria Montessori, menyebutkan lima hal yang dapat mendukung rasa ingin tahu dalam diri anak:
  1. Percaya pada anak. Orang tua harus memiliki kepercayaan pada anak mereka, bahwa setiap aktivitas yang dilakukannya, permainan yang digemarinya, memiliki dampak-dampak positif. Orang tua tidak terlalu banyak melarang.
  2. Lingkungan belajar yang kaya. Rasa ingin tahu yang besar akan tumbuh secara alami di lingkungan yang kaya (artinya bervariasi). Kaya di sini tidak berarti benda-benda yang mahal. Setiap obyek di alam memiliki keunikan yang dapat menstimulir kognisi dan perasaan anak. Obyek yang monoton akan membuat anak bosan dan berperilaku negatif.
  3. Waktu. Anak membutuhkan waktu untuk melakukan aktivitasnya, sesuai dengan ketertarikannya. Jangan banyak mengganggu dan merampas waktu anak dengan keinginan orang tua (yang mungkin dianggap lebih bermanfaat).
  4. Keamanan. Tanpa kehadiran orang tua maka anak akan menghadapi banyak bahaya, mulai dari bahaya fisik (misal aliran listrik, benda tajam, lubang, dll) hingga bahaya mental (anak merasa takut dan asing tanpa kehadiran orang tua di dekatnya). Dibutuhkan kehadiran orang tua untuk memberikan keamanan dan rasa nyaman bagi anak untuk mengeksplorasi dunia sekelilingnya. 
  5. Dorongan kekaguman. Orang tua dapat bertanya atau menunjukkan sesuatu yang menarik. Mengajak mereka jalan-jalan menikmati keindahan dan keagungan alam. Rasa kagum anak akan memupuk rasa ingin tahunya.
Lebih utama dari lima hal di atas, orang tua dapat belajar untuk menumbuhkan rasa ingin tahu anak sesuai dengan kondisi dan karakter mereka sendiri, Setelah itu semua yang terbaik dapat dibagi.

Referensi:
Davies, S. (2019). The Montessori Toddler, A Parent's Guide to Raising A Curious and Responsible Human Being. New York: Workman Publishing Co., Inc.

Gambar:
https://pixabay.com 

Monday 23 March 2020

Filsafat Realisme dalam Pendidikan

Filsafat realisme merupakan aliran filsafat dengan tokoh utama Aristoteles yang hidup di Yunani pada tahun 384-322 SM. Dia merupakan salah satu siswa Plato di Academy (sekolah yang didirikan oleh Plato). Aristoteles dengan berbagai pemikirannya yang luar biasa juga mendirikan sebuah sekolah yang bernama Lyceum.


Jika filsafat idealisme yang dibawa oleh Plato (lengkapnya baca di sini) memandang bahwa yang nyata hanyalah ide di dalam pikiran manusia, sedangkan benda-benda material hanyalah merupakan bayang-bayang dari ide tersebut, maka Aristoteles memandang bahwa materi juga nyata seperti halnya ide. Perbedaannya, jika ide dapat eksis secara independen, maka materi tidak dapat independen dari ide. Artinya, di dalam setiap materi terkandung ide (istilahnya forma) sehingga dapat dipahami oleh manusia (dengan ide-ide di dalam pikiran mereka).

Tugas utama manusia bagi Aristoteles adalah berpikir, memahami berbagai obyek dan peristiwa di alam, termasuk dirinya sendiri. Manusia harus menggali berbagai ide yang terkandung di setiap obyek dan peristiwa alam. Oleh karena itulah kebenaran dalam filsafat realisme dapat peroleh dengan mempelajari materi di luar diri, tidak hanya melalui dialog seperti yang diajarkan oleh Plato dan Sokrates. Ide paling utama dari berbagai materi di alam menurut Aristoteles adalah tujuan. Artinya setiap obyek memiliki tujuan atas keberadaannya. Dengan memahami tujuan tersebut manusia dapat berperan secara tepat sesuai dengan tujuan keberadaannya di alam.

Pada abad ke-17 Francis Bacon menjadi pencetus realisme modern, yaitu dengan konsep berpikir induktif yang nantinya akan mendasari tumbuhnya sains modern. Dalam konsep berpikir induktif Bacon mengajukan suatu metode bagaimana cara mempelajari obyek-obyek atau fenomena secara partikular untuk mendapatkan kesimpulan yang universal. 

Dalam dunia pendidikan paham realisme dapat terlihat dari bagaimana pentingnya interaksi alam nyata (obyek dan peristiwa di sekitar) dengan siswa untuk terjadinya belajar dan berkembang. Dua orang tokoh besar pendidikan anak, Froebel dan Montessori menganjurkan interaksi tersebut dalam aktivitas bermain. 

Referensi:
Ebert, E.S. & Culyer, R.C. (2014). School, An Introduction to Education. Belmont,CA : Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Monday 16 March 2020

Menemukan Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) Siswa

Istilah zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) atau yang disingkat ZPD memegang peran penting dalam teori belajar sosiokultur yang dikonstruk oleh psikolog Rusia Lev Vygotsky. Istilah ini menunjukkan suatu rentang kemampuan dimana seorang anak akan mampu mengerjakan suatu tugas dengan bantuan orang lain yang lebih ahli.


Vygotsky menyatakan bahwa seorang pengajar harus mencari dan mengetahui ZPD siswa agar dapat memberikan bantuan belajar. Jika pelajaran diberikan begitu saja sehingga tidak tepat pada ZPD siswa (terlalu mudah atau sebaliknya terlalu sulit) maka siswa tidak akan mengalami proses belajar yang optimal. Selain itu siswa akan mengalami kebosanan atau rasa tertekan selama belajar. Trauma dapat muncul sehingga semakin lama semakin sulit mengajak mereka belajar.

Sebenarnya bagaimana cara seorang pengejar menemukan ZPD siswa?

ZPD adalah suatu zona aktivitas (fisik maupun kognitif) yang baru dapat dilakukan siswa ketika mendapatkan bantuan tertentu. Pada pengantar pembelajaran guru dapat memberi siswa pertanyaan. Respon siswa dalam memberikan jawaban dapat menjadi bahan analisis guru mengenai batasan kemampuan mereka. Jika siswa benar-benar tidak bisa memberikan jawaban yang sesuai maka pengetahuan tersebut masih belum berada di ZPD. Demikian pula jika sebaliknya, jawaban menunjukkan pemahaman yang baik, itu berarti tidak berada di dalam ZPD siswa. Guru dapat menaikkan atau menurunkan level pembelajaran agar lebih sesuai dengan ZPD siswa. JIka kondisi ZPD siswa bervariasi Vygotsky menawarkan metode belajar kolaborasi agar siswa dapat bekerja sama dan semua mendapatkan kesempatan untuk belajar. 

Metode lain adalah meminta siswa untuk menirukan suatu penerapan keterampilan, Cara untuk menemukan ZPD mereka sama halnya dengan metode memberikan pertanyaan di atas.

Hal penting yang harus diperhatikan oleh guru menurut Vygotsky adalah mengenai kesesuaian pembelajaran dengan kultur siswa. Misalnya bahasa, guru harus memperhatikan bagaimana bahasa kultural siswa menyebut aktivitas, keterampilan, fenomena atau obyek yang dipelajari. Demikian pula dengan kesesuaian pelajaran di sekolah dengan kehidupan sehari-hari siswa. Terputusnya pelajaran dengan budaya asal siswa akan menjadikan pembelajaran kehilangan makna.

Referensi:
  1. Chaiklin, S. (2003). The Zone of Proximal Development in Vygotsky's Analysis of Learning and Instruction. Dalam Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V.S. & Miller, S.M. (Ed.). Vygotsky's Educational Theory in Cultural Context. (pp. 39-64). Cambridge: Cambridge University Press.
  2. Woofolk, A. (2016). Educational Psychology. Thirteenth Edition. Harlow, Essex: Pearson Educationa Limited.
Gambar:
https://pixabay.com

Sunday 15 March 2020

Guru Peduli dan Memotivasi

Salah satu aspek yang mempengaruhi motivasi siswa untuk belajar dan berprestasi di sekolah adalah interaksi mereka dengan orang tua, guru dan teman. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana interaksi guru dan siswa yang dapat memotivasi untuk belajar. Interaksi dengan orang lain adalah sumber dari pengalaman sosial. Di dalam kelas, bagaimana pola interaksi dengan guru akan memotivasi siswa untuk belajar atau justru sebaliknya.


Beberapa penelitian menemukan bahwa siswa yang tidak belajar dengan baik di sekolah memiliki interaksi yang buruk dengan guru mereka. Para siswa sering mendapat marah atau tidak dipedulikan. Kelas dan aktivitas di dalamnya menjadi sangat membosankan dan bahkan membuat siswa tertekan.

Selanjutnya para peneliti menelusuri karakter guru seperti apa yang paling dapat memotivasi siswa untuk belajar dan berprestasi di sekolah. Salah satu cara untuk menemukannya adalah dengan mengeksplorasi pandangan siswa mengenai guru yang peduli terhadap mereka. Penelitian yang dilakukan Wentzel pada tahun 1997 menemukan empat karakter guru peduli dalam pandangan siswa yaitu:
  1. Mengenai Perilaku. Guru peduli akan berusaha untuk membuat kelas menjadi lebih menyenangkan dan mengajar dengan cara-cara yang spesial. Guru yang tidak peduli membosankan ketika mengajar, tidak menjalankan tugasnya dan tetap mengajar walaupun siswa tidak memperhatikan.
  2. Mengenai Gaya Komunikasi. Guru peduli mau berkomunikasi dengan setiap siswa, penuh perhatian, memberikan pertanyaan-pertanyaan dan juga mau mendengarkan. Guru yang tidak peduli seringkali cuek pada siswa, suka memotong ketika siswa berbicara, berteriak dan bahkan menyindir siswa.
  3. Mengenai Penghargaan. Guru peduli bersikap jujur, adil, memenuhi janji, percaya pada siswa dan menghargai keberadaan siswa. Guru yang tidak peduli lebih banyak mempermalukan dan menghina siswa.
  4. Mengenai perhatian terhadap Individu Siswa. Guru peduli mau bertanya permasalahan siswa, dapat bersikap seperti seorang teman, mau memberi waktu hingga siswa paham dan menyapa siswa. Guru tidak peduli melupakan nama siswa, tidak peduli ketika siswa melakukan kesalahan, tidak merespon pertanyaan siswa dan tidak mencoba untuk membantu siswa yang sedang kesulitan.
Interaksi dengan guru peduli akan memberi pengalaman yang positif tentang belajar dan bersekolah. Hal tersebut akan memotivasi siswa untuk menyukai pelajaran, berusaha dengan maksimal meraih prestasi dan lebih percaya diri.

Referensi:
Santrock, J.W. (2018). Educational Psychology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Education

Gambar:
https://pixabay.com

Friday 13 March 2020

Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Instructional Model)

Dalam teori belajar konstruktivis, belajar dipandang sebagai suatu proses aktif, dimana anak belajar melalui pengalaman mereka. Pengalaman tersebut menjadi bahan-bahan dalam mengkonstruksi pengetahuan dan kompetensi yang lain. Prinsip itu melahirkan suatu model pembelajaran melalui penemuan (discovery model), dimana anak diarahkan oleh guru untuk menemukan sendiri pengetahuan, tidak dengan cara diberi secara langsung.

Dalam beberapa penelitian dan kajian ilmiah, ternyata banyak guru yang salah memahami model pembelajaran penemuan. Kesalahannya terletak pada anggapan bahwa siswa harus dibiarkan beraktivitas secara mandiri untuk menemukan pengetahuan yang akan diajarkan. Hal tersebut seringkali membuat para siswa menjadi membuang-buang waktu, bosan dan stres karena terlalu sulit bagi mereka. Sebenarnya pandangan guru bahwa siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan adalah benar, sesuai dengan prinsip teori konstruktivis. Yang keliru adalah anggapan bahwa proses penemuan tersebut harus dilakukan sendiri tanpa adanya bantuan secara eksplisit.


Berdasarkan kenyataan itulah maka para ahli mengembangkan suatu model pembelajaran melalui penemuan namun dengan memberikan bantuan secara eksplisit kepada siswa. Model tersebut diberi nama model pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery instructional model).

Teori yang melandasi model penemuan terbimbing adalah teori scaffolding dari Vygotsky dan para penerusnya (untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel ini). Scaffolding adalah bantuan kognitif yang diberikan oleh orang yang lebih ahli (misalnya guru dan orang tua) agar anak lebih cepat mempelajari suatu pengetahuan atau keterampian baru. Dalam konsep ini bantuan harus tetap memberi anak ruang untuk berusaha aktif menemukan pengetahuan sendiri. Ketika bantuan yang diberikan terlalu berlebihan anak akan kehilangan kesempatan untuk berusaha dan belajar. Sebaliknya bantuan yang kurang memadai akan membuat situasi belajar terlalu sulit.

Tahap-tahap pembelajaran (sintaks) dalam model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
  1. Introduction and review. Guru membuka pembelajatan dengan menyajikan tujuan dan fokus dari belajar, serta mereview pembelajaran yang sebelumnya dilakukan. Pada aktivitas ini guru berperan dalam menarik perhatian dan mengaktifkan prior knowledge siswa.
  2. Open-ended phase. Guru memberikan contoh-contoh serta meminta siswa untuk melakukan pengamatan dan komparasi. Pada aktivitas ini guru mengarahkan siswa pada pengalaman yang akan membuat mereka dapat mengkonstruk pengetahuan. Selain itu guru mendorong untuk terjadinya interaksi sosial.
  3. Convergent phase. Guru memandu siswa dalam mencari pola-pola (konsep) pada sesuatu yang diamati dan dikaji.
  4. Closure. Dengan bimbingan guru, siswa menyusun definisi atau deskripsi mengenai konsep yang dipelajari.
  5. Aplication. Guru meminta siswa untuk menggunakan konsep yang telah dipelajari untuk menjelaskan peristiwa nyata lain yang berkaitan.
Salah satu perbedaan model ini dengan pembelajaran langsung adalah guru lebih sedikit menjelaskan tetapi lebih banyak bertanya sebagai bentuk bimbingan bagi siswa untuk berpikir dan beraktivitas. Jika model ini berhasil meningkatkan keterlibatan siswa dalam menemukan suatu konsep, maka rasa tertarik mereka untuk belajar secara mandiri juga akan meningkat.

Referensi:
Eggen, P. & Kauchak, D. (2016). Educational Psychology, Windows on Classroom. Tenth Edition. Harlow, Essex: Pearson Education Limited

Gambar:
https://pixabay.com

Thursday 12 March 2020

Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)

Para ahli psikologi perilaku menyebut model pembelajaran langsung ini dengan istilah modeling with reinforced guided performance (pemodelan dengan penguatan kinerja terbimbing). Pada istilah tersebut terdapat dua konsep utama yang berasal dari psikologi perilaku yaitu pemodelan (modeling) dan penguatan (reinforcement). Pada konsep pemodelan, siswa mengikuti apa yang dicontohkan oleh guru sebagai orang yang menguasai pengetahuan atau keterampilan yang akan diajarkan. Untuk mendorong keberhasilan pemodelan tersebut maka diterapkan penguatan dan bimbingan berupa praktik, feedback dan motivasi.


Model pembelajaran langsung efektif untuk mengajarkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Melalui percontohan dan penguatan terencana yang dilakukan oleh guru maka siswa dapat menguasai apa yang diajarkan dalam waktu yang relatif cepat.

Sintaks model pembelajaran langsung terdiri atas lima tahapan sebagai berikut:
  1. Orientasi. Guru mereview pelajaran sebelumnya yang berkaitan, menjelaskan tujuan pembelajaran serta prosedur pembelajaran yang akan dilakukan.
  2. Presentasi. Guru menjelaskan atau memberi contoh konsep atau keterampilan, serta mengecek pemahaman siswa.
  3. Praktik terstruktur. Guru mengarahkan praktik percontohan, baik berupa skil atau soal untuk penguasaan konsep. Guru memberikan feedback pada kesalahan yang dilakukan siswa. Juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari siswa.
  4. Praktik terbimbing. Siswa melakukan praktik semi mandiri. Guru melakukan monitoring dan memberikan feedback.
  5. Praktik mandiri. Siswa melakukan praktik mandiri di rumah atau di kelas. Feedback diberikan walaupun tidak seketika. Praktik mandiri ini dapat dilakukan beberapa kali dalam periode ternetu.
Situasi belajar yang sebaiknya dibangun adalah positif dan realistis, dimana siswa dan guru dapat berbagi pengetahuan. Motivasi berupa penghargaan dengan bentuk-bentuk yang bervariasi dan efektif dapat dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.

Referensi:
Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2015). Models of Teaching. Ninth Edition. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday 11 March 2020

Filsafat Idealisme dalam Pendidikan

Filsafat merupakan pengetahuan yang bersifat mendasar dan menyeluruh (holistik) sebagai hasil dari proses berpikir. Karena sifatnya yang mendasar dan holistik itulah maka filsafat sering dijadikan sebagai salah satu pemberi petunjuk manusia dalam menjalani hidupnya, atau minimal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sebagai hasil berpikir, filsafat terus bergulir tak pernah berhenti (seperti halnya pengetahuan yang lain). 

Filsafat juga dapat diartikan sebagai proses untuk menemukan kebenaran tertentu dengan menggunakan keterampilan berpikir (logika). Dalam sejarah, terdapat beberapa tokoh besar filsafat yang hasil pencarian akan kebenaran yang mereka lakukan ternyata berpengaruh luas pada pemikiran manusia setelahnya. Pemikiran-pemikiran besar tersebut membentuk suatu aliran (filsafat dengan ciri khas atau prinsip tertentu). Ia berpengaruh luas karena memang dapat diterima oleh pikiran banyak orang dan kemampuannya dalam menyentuh sendi-sendi kehidupan yang fundamental, misalnya pendidikan.

Salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang banyak dibahas adalah idealisme. Suatu aliran yang berasal dari zaman Yunani Kuno sekitar 4 abad sebelum masehi. Tokoh utama aliran idealisme adalah Plato (427-347 SM) yang banyak mendapatkan pelajaran dari gurunya, Sokrates. Aliran ini memandang bahwa realita (kenyataan) yang sesungguhnya adalah "ide" atau kebenaran yang ada di dalam pikiran dan jiwa manusia. Kursi secara fisik akan hancur akan tetapi kursi di dalam pikiran tidak akan berubah, begitulah contoh sederhananya.


Dalam pandangan idealisme, "ide" telah ada di dalam diri setiap manusia, namun belum disadari. Salah satu metode yang efektif untuk mengeluarkan ide tersebut adalah melalui dialog yang kritis. Tanya jawab yang hati-hati akan membawa seseorang menyadari suatu kebenaran yang tidak disadarinya selama ini. Sokrates mengatakan bahwa setiap orang pada dasarkan mengandung (hamil) kebenaran. Tugas filsuf mirip dengan seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan. 

Dalam sistem pendidikan, idealisme menganjurkan untuk lebih terfokus pada aktivitas intelektual, moral dan etika sebagai wujud dari ide di dalam diri manusia. Ide-ide dasar di dalam diri manusia (intelektual, moral dan spiritual) itulah yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan siswa kelak di masyarakat. Aliran ini tentu kurang setuju jika yang diutamakan dalam pendidikan adalah aspek eksternal dan material misalnya pekerjaan atau profesi.

Referensi:
Ebert, E.S. & Culyer, R.C. (2014). School, An Introduction to Education. Belmont CA: Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Tuesday 10 March 2020

Reliabilitas Asesmen

Ketika guru atau peneliti mengadakan suatu asesmen (baik dengan tes atau pengamatan), maka salah satu aspek yang harus dimiliki oleh asesmen tersebut adalah reliabilitas. Tes disebut reliabel jika tes tersebut bersifat konsisten atau ajeg, artinya akan memberikan hasil yang relatif sama jika dikerjakan oleh orang yang sama pada kondisi yang berbeda. Sebuah tes yang memberikan hasil yang sangat berbeda ketika dikerjakan pada pagi dan sore hari, maka tes tersebut tidaklah reliabel. Demikian juga ketika tes menghasilkan nilai yang sangat berbeda ketika dikerjakan pada dua waktu yang tidak terlalu lama menunjukkan bahwa tes tersebut tidak konsisten atau reliabel.


Bagaimana cara kita mengetahui reliabilitas suatu tes? Terdapat empat cara yaitu:
  1. Test-retest Reliability. Pada cara pertama ini seperangkat tes diberikan dua kali di waktu yang berbeda kepada sekelompok siswa yang sama. Hasil tes kemudian dihitung koefisien korelasinya. Nilai koefisien korelasi mulai dari 0 hingga 1. Salah satu kelemahan teknik ini adalah pada penentuan waktu antara kedua tes, jika terlalu lama kemungkinan hasil dipengaruhi oleh berbagai peristiwa dan pelajaran yang diterima oleh siswa. Jika terlalu singkat maka hasilnya akan dipengaruhi ingatan siswa akan tes yang pertama.
  2. Equivalent-form Reliability. Pada cara yang kedua ini guru atau peneliti tidak hanya membuat satu perangkat tes, tetapi dua perangkat dengan tingkat kesulitan yang setara. Kedia tes dikerjakan pada satu waktu (walaupun ada jeda waktu tetapi singkat). Hasil keduanya kemudian diukur koefisien korelasinya.  Kelemahan dari teknik ini adalah menyusun butir-butir tes yang setara (membutuhkan ketelitian dan penguasaan materi yang baik). Selain itu mengadakan dua tes di waktu yang sama akan membuat siswa mengalami stres (sehingga teknik ini sangat jarang digunakan).
  3. Internal Consistency Reliability. Pada cara ketiga ini perangkat tes hanya satu dan dilakukan juga hanya satu kali. Kepraktisannya membuat teknik ketiga ini yang paling banyak digunakan. Nilai konsistensi internal menunjukkan seberapa terkait masing-masing butir soal dengan konstruk tertentu. Misalnya kita membuat soal-soal untuk mengukur kemampuan mengingat dan memecahkan permasalahan, maka kita dapat melakukan dua analisis reliabilitas untuk masing-masing jenis konstruk soal tersebut. Hasil dari tes diukur koefisien alfanya. Butir dengan koefisien alfa lebih dari 0,7 adalah butir yang reliabel.
  4. Interscorer (interrater) reliability. Teknik keempat ini digunakan untuk mengukur reliabilitas pada dua pemberi skor (umumnya dua pengamat) yang berbeda. Hasil skor dari kedua pengamat tersebut kemudia dianalisis korelasinya (koefisien korelasi). Selain itu dapat juga menggunakan formula  percentage of interrater agreement.
Referensi:
  1. Christensen, L.B., Johnson, R.B. & Turner, L.A. (2015). Research Methods, Design and Analysis. Twelfth Edition. Essex CM20 2JE: Pearson Education Limited
  2. Johnson, R.B. & Christensen, L.B. (2017). Educational Research: Quantitative, Qualitative and Mix Approaches. Sixth Edition. Thousand Oaks California: Sage Publications, Inc.
Gambar:
https://pixabay.com

Monday 9 March 2020

Perlukah Baby Walker untuk Membantu Bayi Belajar Berjalan?

Setiap orang tua pasti ingin membantu, membimbing, mengajari dan menuntun anak mereka agar mengalami perkembangan yang sehat dan menjadi orang dewasa yang mandiri dan bahagian dalam hidupnya. Di masa bayi salah satu keterampilan yang sangat berkesan adalah berjalan. Ketika bayi mulai belajar berjalan, orang tua akan penuh semangat menuntun mereka.

Bukalah youtube.com dan ketik kata pencari baby first step atau bayi belajar jalan, maka akan anda temui banyak sekali unggahan video orang tua mengajari bayi belajar berjalan. Semua video tersebut memberi kesan bahwa anak yang belajar berjalan begitu lucu dan menggemaskan, serta memberi kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Momen anak belajar berjalan biasanya akan terus diingat oleh orang tua hingga si anak menjadi dewasa dan berkeluarga.


Salah satu keyakinan orang tua ketika bayi belajar berjalan adalah dengan membelikan mereka baby walker. Alat ini dapat kita temui di berbagai masyarakat sejak berabad-abad lamanya, dengan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk yang umum saat ini adalah lingkaran dengan roda-roda di bawah dan terdapat tempat duduk empuk di bagian tengah. Bentuk lingkaran memungkinkan baby walker tersebut bergerak ke arah manapun.

Ternyata keyakinan masyarakat tidak terbukti dalam hasil-hasil penelitian. Penggunaan baby walker berdasarkan data statistik pada banyak penelitian justru membuat masa belajar berjalan bayi menjadi lebih lama beberapa minggu dari pada anak yang tidak menggunakannya. Alasan yang pertama adalah baby walker justru menurunkan semangat bayi untuk berjalan yang sebenarnya, karena bergerak di dalam alat tersebut lebih mudah. Yang kedua, kemampuan berjalan yang normal dan optimal membutuhkan keterampilan beberapa otot di bagian yang berbeda, yang akan dipelajari bayi mulai ketika ngesot, merangkak, berpegangan pada obyek untuk berdiri dan duduk.

Hal negatif lain yang dapat muncul dari baby walker adalah kemungkinan kecelakaan yang lebih tinggi dibanding jika bayi belajar berjalan secara alami, misalnya hanya dengan dituntun. Kecelakaan tersebut dikarenakan baby walker membuat perpindahan bayi lebih cepat, sehingga di lokasi yang kurang aman membuat orang tua terlambat untuk mencegah jika bayi mengalami sesuatu. Pada beberapa negara maju jumlah kasus kecelakaan bayi karena penggunaan baby walker termasuk besar.

Kanada menjadi negara pertama pada tahun 2004 yang melarang perdagangan baby walker. Namun karena masyarakat telah begitu percaya akan kegunaan alat tersebut, jadinya perdagangan baby walker terus dilakukan di pasar ilegal. 

Terdapat bentuk baby walker yang mungkin membuat anak lebih aktif dari baby walker bentuk lingkaran, yaitu yang berbentuk kereta dorong. Bisa jadi anak tidak malas lagi dengan bentuk ini. Namun belajar berjalan secara alami dengan bantuan langsung dari orang tua tetap akan lebih baik hasilnya. Walaupun untuk itu para orang tua akan lebih capek (dan bisa jadi inilah alasan utama penggunaan baby walker). 

Referensi:
Hupp, S. & Jewell, J. (2015). Great Myths Of Child Development. West Susseex: John Wiley & Sons, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Sunday 8 March 2020

Kelekatan (Attachment) antara Ibu dan Anak

Tentu anda sering melihat bagaimana seorang anak kecil akan menangis ketika terpisah atau ditinggal pergi oleh ibu dan ayahnya (namun yang lebih  kuat adalah ibu). Hal tersebut dikarenakan adanya ikatan emosional antara anak dengan ibu (bisa juga orang lain yang lebih intens merawat si anak).

Dalam ilmu psikologi anak, peristiwa seperti di atas dikenal dengan kelekatan (attachment). Adanya ikatan emosional seorang anak dengan pengasuh yang umumnya adalah sang ibu. Kelekatan bukan sesuatu yang sepele, ikatan tersebut merupakan landasan kekuatan bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, belajar dan berkembang dengan sehat. Kelekatan yang sehat dengan ibu akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak sehingga ia akan berkembang, belajar dan mengeksplorasi lingkungan sekitar secara maksimal. 


Kelekatan berlangsung melalui interaksi selama beberapa waktu di awal kehidupan bayi. Ketika ibu memberi makan, memandikan, membersihkan kotoran, mengajak bermain hingga menemani tidur, akan berlangsung interaksi sosial pertama yang dialami anak. Interaksi yang nyaman dan hangat akan menghasilkan suatu kelekatan yang aman (secured attachment). Sedangkan interaksi yang tidak nyaman akan menghasilkan kelekatan yang tidak aman (unsecured attachment) antara anak dengan ibu atau pengasuhnya.

Manurut Ainsworth terdapat dua jenis kelekatan yang tidak aman, yaitu kelekatan menghindar (avoidant attachment) dan kelekatan menolak (resistant attachment). Anak yang memiliki kelekatan menghindar tidak begitu terpengaruh dengan perginya ibu, ia akan tetap fokus bermain. Sedangkan anak yang memiliki kelekatan menolak akan menangis keras ketika dipisahkan dari ibu mereka, namun ketika ibunya datang mereka menunjukkan sikap menolak. Anak dengan kelekatan yang aman akan menangis ketika ditinggal oleh sang ibu dan akan menjadi senang dan segera mendekat ketika ibunya datang.

Jenis kelekatan menentukan bagaimana kondisi psikologis anak, apakah mereka merasa bahagia, tertekan, kesepian, atau bingung dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan berkembang. Jenis kelekatan anak dengan ibu (pengasuh) akan menjadi pola perilaku mereka ketika berinteraksi dengan orang lain. Anak yang hangat, mudah berkomunikasi adalah ciri dengan kelekatan aman. Anak dengan kelekatan tidak aman cenderung memiliki masalah pada interaksi sosial mereka (seperti cuek, sinis, sulit percaya, mudah mengejek, kasar dan lain sebagainya). Bagaimana sikap anak di sekolah dan masyarakat sebagian besar ditentukan oleh bagaimana kondisi kelekatan mereka dengan ibu, ayah atau para pengasuh yang lain di rumah. 

Referensi:
Rathus, S.A. (2018). Child and Adolescent Development. Second Edition. Boston, MA: Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Friday 6 March 2020

Tumbuhnya Empati

Kualitas karakter dan moral seseorang adalah pada perilaku baik yang ia lakukan terhadap orang lain. Menolong orang lain yang sedang tertimpa kesulitan adalah perilaku atas dasar dorongan dari dalam diri. Munculnya dorongan untuk membantu orang lain disebabkan manusia mempunyai empati. Lantas, apakah empati itu?

Secara sederhana empati merupakan suatu kondisi kejiwaan dimana seseorang dapat memahami dan ikut merasakan emosi orang lain. Ia merasa senang ketika temannya mendapatkan keberuntungan, sebaliknya ia merasakan kesedihan atau bahkan rasa sakit dari teman yang sedang tertimpa kecelakaan. 

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk penolong. Setiap orang memiliki empati di dalam dirinya, walaupun berbeda level sesuai dengan pengalaman dan kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil. Sebelum usia satu tahun, bayi telah merasakan empati pada orang lain (ia tertawa jika diajak tertawa atau ikut gelisah ketika orang tuanya sedih). Namun kondisi kognitif yang masih belum mampu memahami perbedaan diri dan orang lain membuat empati yang dimilikinya berupa empati egosentris. Bayi menganggap perasaan orang lain adalah sama dengan yang dialaminya.

Semakin bertambah usia dan kemampuan kognitif anak, maka semakin berkembang pula kualitas empatinya. Ia telah dapat memahami bahwa kondisi yang dialami orang lain adalah berbeda dengan yang ia alami. Namun ia mampu ikut merasakan apa yang terjadi pada orang lain, terutama orang-orang yang dekat. 


Empati melahirkan perilaku menolong orang lain, atau minimal membuat orang lain merasa senang, Semakin bertambah umur anak maka semakin banyak ia menolong teman atau orang-orang di sekitarmya. Namun untuk itu orang tua harus memberi contoh dan membiasakan anak. Kita sering melihat bagaimana orang tua meminta anak memberikan sebagian kue yang dimilikinya kepada teman, atau meminjamkan mainannya. Hal-hal tersebut merupakan contoh bagaimana orang tua mengajarkan anak mewujudkan empati di dalam diri mereka menjadi perilaku nyata.

Pengalaman pahit atau tidak menyenangkan juga dapat menjadi penguat empati pada diri seseorang, terutama jika ia mengalami kesulitan seperti halnya yang dialami oleh orang-orang terdekatnya. Misalnya anak yang membantu orang tuanya mengerjakan pekerjaan sehari-hari (tanpa paksaan) akan membuat anak dapat ikut merasakan susahnya kehidupan orang tuanya selama ini. Empati tersebut dapat mendorongnya untuk terus membantu orang tua dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Referensi:
  1. Kail, R.V. & Cavanaugh, J.V. (2019) Human Development, A Life Span View. Eighth Edition. Boston, MA: Cengage Learning, Inc.
  2. Eisenberg, N., Spinrad, T. L., & Knafo-Noam, A. (2015). Prosocial development. In R M. Lerner (Ed)., Handbook of child psychology and developmental science (7th ed., Vol. 3., pp. 610–656). Hoboken, NJ: Wiley 
Gambar:
https://pixabay.com 

Thursday 5 March 2020

Pentingnya Bermain Bagi Anak Menurut Erikson, Piaget dan Vygotsky

Bermain adalah dunia anak. Sejak bangun tidur yang dipikirkannya adalah bermain. Mereka seolah terhanyut oleh aliran waktu ketika bermain, hingga orang tua menjadi sebal dan menyuruh mereka berhenti untuk makan, istirahat atau tidur. 

Sifat anak yang begitu gandrung pada permainan adalah alami. Masyarakat tradisional banyak sekali menciptakan permainan untuk anak, mulai dari petak umpet, kelereng, layangan, bentengan, boneka, kucing dan tikus, lompat tali, dakon dan masih banyak lagi. Sejak dulu masyarakat telah sadar bahwa perkembangan jiwa dan fisik anak  kebanyakan berlangsung dalam aktivitas bermain, baik secara individu maupun kelompok.


Para ahli psikologi dan pendidikan pun sangat tertarik pada dunia bermain anak. Mereka meneliti dan menganalisis fenomena alami tersebut dan menyimpulkan fungsi-fungsi penting bermain bagi anak. Berikut beberapa fungsi penting bermain menurut para ahli.
  1. Menurut Erik Erikson bermain akan menumbuhkan kemampuan bekerja sama dan sikap saling mempercayai. Ia juga meyakini bahwa anak akan mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk memanipulasi obyek.
  2. Piaget menyimpulkan bahwa bermain akan mengembangkan kemampuan sensorimotor di awal-awal kehidupan mereka. Semakin bertambah usia (pada masa praoperasional) permainan akan mengembangkan imajinasi, sehingga mereka dapat melakukan peniruan terhadap berbagai kegiatan orang dewasa. Pada masa operasional kongkrit permainan akan mengajarkan anak-anak mengenai adanya peraturan dalam interaksi sosial. aturan-aturan tersebut pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan berpikir anak menjadi lebih formal. 
  3. Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas bermain akan membentuk cara berpikir anak dan membuat mereka lebih memahami bagaimana dunia sosial bekerja. Bimbingan yang diberikan oleh anak yang lebih senior atau orang dewasa akan menjadi scaffolding sehingga anak dapat mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Bermain juga membuat anak lebih memahami diri sendiri (apa yang diinginkan, potensi dan bakat serta kekurangan).
Ternyata begitu penting bermain bagi perkembangan anak, terutama di usia awal prasekolah. Oleh karena itu biarkan anak tumbuh maksimal secara alami sesuai dengan kodratnya melalui aktivitas bermain yang sehat. Jangan terburu-buru mengajari mereka pelajaran sekolah sebelum waktunya, apalagi jika diajarkan dengan paksaan.

Referensi:
Jackman, H.L. (2012) Early Education Curriculum, A Child's Connection to The World. Fifth Edition. Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday 4 March 2020

Bagaimana Scaffolding Dilakukan?

Para mahasiswa pendidikan, para peneliti dan juga guru tentu tidak asing dengan istilah scaffolding. Merupakan suatu teknik bantuan belajar yang diberikan oleh seorang guru atau pihak yang lebih ahli kepada siswa atau pelajar. Dasar dari teknik scaffolding adalah teori sosiokultur Vygotsky yang berprinsip bahwa belajar terutama terjadi melalui interaksi sosial dalam konteks kultur yang sama, dimana seorang anak akan dibimbing oleh orang-orang yang lebih ahli di sekitarnya melalui peralatan kultural yaitu bahasa.

Dalam scaffolding seorang guru hanya memberikan bantuan seperlunya, sehingga siswa dapat berjuang untuk menguasai sesuatu yang dipelajari. Bantuan yang berlebihan hanya akan membuat siswa tidak berbuat apapun, dan akhirnya tidak akan belajar apapun.


Namun bagaimana scaffolding dilakukan? Secara teknis Astington dan Rogoff menyebutkan beberapa teknik scaffolding yang dapat dilakukan oleh guru yang hendak membimbing siswanya.
  1. Memancing motivasi dan rasa tertarik siswa untuk mempelajari suatu kemampuan yang akan diajarkan.
  2. Menyederhanakan kemampuan yang akan diajarkan menjadi beberapa bagian yang dapat dipelajari setahap demi setahap sehingga lebih mudah.
  3. Berupaya tetap mempertahankan rasa tertarik siswa.
  4. Menandai kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dan memberikan petunjuk untuk memperbaikinya.
  5. Mengendalikan frustasi yang dialami siswa dengan tidak menyebut-nyebut kesalahan yang dilakukan siswa.
  6. Mencontohkan suatu solusi mengenai sebuah kesalahan.
Setiap guru memiliki pengalaman tersendiri ketika membimbing anak-anak didik dengan berbagai karakter. Pada akhirnya mereka akan memilih teknik-teknik yang mungkin lebih sesuai untuk diri dan juga anak-anak tersebut.

Referensi:
Bigner, J.J., & Gerhardt, C. (2014) Parent-Child Relations, An Introduction to Parenting. Ninth Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Tuesday 3 March 2020

Kemerdekaan Belajar dalam Pandangan Ki Hadjar Dewantara

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, bercita-cita untuk membangun Indonesia yang merdeka melalui pendidikan. Melalui politik dan pendidikan, Indonesia akan merdeka lahir dan juga batinnya. Kemerdekaan bagi beliau merupakan kodrat alami dalam diri anak yang harus dituntun agar sepenuhnya berkembang untuk mengantar anak menuju keselamatan dan kebahagiaan.


Orang merdeka berbeda dengan mereka yang terjajah atau tertindas. Dalam kemerdekaan ada pilihan, artinya kita bisa memilih yang menurut kita sesuai dan baik untuk diri kita. Sebaliknya dalam ketertindasan tidak ada pilihan tersebut. Kita dipaksa untuk mengikuti permintaan dan perintah orang lain. Prinsip tut wuri handayani, yang artinya guru di belakang memberi dorongan kepada siswa adalah gambaran bagaimana pendidikan yang memerdekakan siswa. Guru tidak memaksa siswa, tetapi memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih apa yang akan dipelajari serta memberi dorongan yang dibutuhkan untuk keberhasilan belajar tersebut.

Aliran pendidikan yang dipegang oleh Ki Hadjar adalah aliran humanistik, yaitu aliran yang memandang bahwa anak memiliki kodratnya masing-masing, Anak bukan robot yang dapat disamaratakan. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan (potensi) masing-masing, Tugas pendidikan adalah menyediakan pengalaman bagi siswa agar mereka menyadari potensi diri dan memiliki semangat untuk belajar sesuai dengan potensi tersebut. 

Lima asas pendidikan (panca dharma) menurut Ki Hadjar adalah asas kodrat alam, asas kemerdekaan, asas kebudayaan, asas kebangsaan dan asas kemanusiaan. Penjelasan dari lima asas tersebut adalah berikan kemerdekaan pada anak didik kita, bukan kebebasan tanpa batas tetapi kemerdekaan yang sesuai dengan kodrat alam yaitu memiliki hak, kewajiban dan batasan tertentu. Kemerdekaan tersebut harus diarahkan pada kehalusan budi (kebudayaan) sehingga dengannya anak akan menuju keselamatan dan kebahagiaan jangka panjang. Tidak hanya keselamatan diri, tetapi juga keselamatan masyarakat sebagai sebuah bangsa dan seluruh umat manusia.

Pendidikan tidak hanya menyiapkan anak menjadi tenaga kerja di masa depan, tetapi menjadi individu yang mandiri, berbudaya dan berkembang sesuai dengan potensinya.

Referensi:
  1. Susilo, S. V. (2018). Refleksi nilai-nilai pendidikan ki hadjar dewantara dalam upaya upaya mengembalikan jati diri pendidikan indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas4(1).
  2. Dewantara, Ki Hadjar (1964). Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa
Gambar:
https://pixabay.com



Sunday 1 March 2020

Strategi Mengubah Posisi Tempat Duduk Tanpa Ribut

Seperti yang telah kita bahas mengenai posisi tempat duduk, terdapat beberapa jenis posisi seperti bentuk lingkaran, bentuk U atau kelompok-kelompok kecil. Setiap bentuk posisi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Satu bentuk lebih cocok untuk suatu jenis kegiatan dari pada yang lain. Misalnya bentuk kelompok-kelompok kecil cocok untuk kelas yang menerapkan diskusi kelompok, sedangkan bentuk lingkaran lebih cocok untuk diskusi kelas.


Salah satu hal negatif dari perubahan bentuk posisi tempat duduk adalah ribut yang muncul ketika masa mengubah posisi. Suara bising kursi dan bangku yang diseret bercampur dengan gurau siswa yang bisa jadi mengganggu kelas yang lain. Belum lagi waktu yang dihabiskan. Lantas bagaimana melakukan perubahan bentuk posisi tempat duduk siswa tanpa keributan?

Beberapa cara dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan atau meminimalisir keributan tersebut, antara lain:
  1. Membuat kesepakatan dan aturan bahwa semua siswa akan melakukan proses perpindahan posisi dalam keadaan diam. Tanpa kesepakatan ini sebaiknya perpindahan tidak dilakukan.
  2. Minta beberapa sukarelawan untuk mengubah posisi bangku dan kursi, pertimbangkan tenaga dan sifat anak yang diminta mejadi sukarelawan. Jangan meminta mereka yang anda ketahui tidak bisa diam.
  3. Minta sebagian besar siswa ke sudut kelas terlebih dahulu tanpa banyak bicara. Biarkan sekelompok sukarelawan yang melakukan pemintahan kursi dan bangku dengan cepat.
  4. Anda bisa melakukan pemindahan bangku dan kursi tersebut sendiri sebelum kelas dimulai (jika memang ternyata siswa sangat sulit diminta diam dan bekerja cepat).
Perlu diketahui bahwa jika kelas telah terbiasa melakukan perubahan bentuk posisi tempat duduk, pada akhirnya semua dapat dilakukan dengan cepat tanpa ribut. Cukup buat perencanaan yang tepat untuk memengelola semua itu.

Referensi:
Scrivener, J. (2012). Classroom Management Techniques. Cambridge: Cambridge University Press.

Gambar:
https://pixabay.com