Friday 17 April 2020

Sikap Ilmiah


Dalam pembahasan mengenai ilmu pengetahuan kita sering mendengar istilah sikap ilmiah, yang secara sederhana dapat diartikan dengan sikap yang umumnya dimiliki oleh orang-orang yang mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan. Mungkin banyak dari anda yang membayangkan sikap ilmiah sebagai sikap seorang ilmuwan yang serius berpikir dan melakukan penelitian. Dalam bayangan seperti itu tentu saja sikap ilmiah menjadi istilah yang cukup “menyeramkan.”


Sebenarnya sikap ilmiah dapat dimiliki dan diterapkan oleh semua orang, bahkan oleh anak kecil sekalipun yang mau konsisten untuk mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa sikap ilmiah dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan,
  1. Rasa ingin tahu. Yaitu suatu ketertarikan tak habis-habis di dalam diri seseorag mengenai fenomena alam atau sosial yang ada sekitarnya. Ketertarikan ini juga muncul ketika menghadapi hasil-hasil ilmu pengetahuan.
  2. Memprioritaskan fakta atau bukti. Dalam berpikir dan berperilaku selalu menempatkan  fakta atau bukti di atas asumsi atau dugaan semata, apalagi kabar yang dalam akal sehat sulit untuk diterima.
  3. Keinginan untuk memodifikasi penjelasan. Ketika dihadapkan pada fakta atau bukti baru (berbeda dari sebelumnya) muncul keinginan untuk menyesuaikan konsep aau penjelasan yang telah dipahami sebelumnya.
  4. Bekerja sama memecahkan masalah. Lebih suka untuk memecahkan permasalahan secara kooperatif dengan tim, terutama dalam memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan. Didasari oleh kesadaran bahwa kerja sama tim akan memberikan hasil yang lebih baik.
  5. Jujur. Menyajikan data sebagai mana adanya, tidak mengubah atau menyesuaikannya dengan keinginan atau kepentingan pribadi.

Sikap ilmiah sangat penting bagi seorang guru yang setiap hari mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para siswanya. Apa yang diajarkan akan nampak menjadi sisa-sia atau penuh dengan kebohongan jika ternyata sikap sang guru tidak mencerminkan sikap ilmiah. Perlu dipahami, bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya sekedar tumpukan informasi hasil penelitian, tetapi yang terpenting adalah proses untuk menghasilkan pengetahuan tersebut serta bagaimana sikap dari seseorang yang mendalaminya.

Referensi:
Contant, T.L., Tweed, A.L., Bass, J.E. & Carin, A.A. (2018). Teaching Science Trough Inquiry-Based Instruction. Thirteenth Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com 

Wednesday 1 April 2020

Teori Belajar dalam Interaksi Teman Sebaya

Ketika sekumpulan anak bermain atau melakukan aktivitas tertentu maka seringkali mereka dihadapkan pada sebuah permasalahan. Sebagai contoh pada kelompok anak yang sedang memancing dihadapkan pada masalah mengenai ikan yang lama tidak kunjung memakan umpan (alias belum ada hasil setelah beberapa waktu memancing). Tentu saja akan terjadi keramaian di dalam kelompok. Ada yang mengajukan gagasan untuk pindah tempat, namun ada juga yang berpendapat lain.

Ada banyak contoh lain bagaimana interaksi komunikatif antara teman sebaya. Di dalam ineraksi tersebut ada proses belajar yang seringkali diremehkan oleh para orang tua dan guru. Mereka yang meremehkan adalah yang berpendapat bahwa belajar lebih banyak terjadi di bawah bimbingan guru atau orang tua saja.


Sesungguhnya tidaklah demikian. Interaksi antar teman sebaya bisa memberikan suatu pengalaman belajar yang berharga, bahkan lebih memiliki dampak perubahan dibandingkan ketika anak dibimbing oleh guru. Dua tokoh besar dalam teori belajar, yaitu Piaget dan Vygotsky, memberikan penjelasan bagaimana proses belajar yang dialami anak dalam interaksi dengan teman sebaya.

Bagi Piaget, interaksi antar teman sebaya merupakan sarana penting untuk perkembangan anak. Alasan utamanya bahwa anak-anak dijauhkan dari kekuatan orang tua (atau guru) yang biasanya membuat mereka lebih penurut dan kurang bebas berpikir. Dalam interaksi teman sebaya akan terjadi konflik kognitif yang maksimal, sehingga anak akan melalui proses berpikir tingkat tinggi dan mengkonstruksi pengetahuan baru.

Adapun Vygotsky lebih memperhatikan bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam hubungan teman sebaya. Pada proses belajar dengan orang tua maka hubungannya jelas, orang tua sebagai pengajar sedangkan anak sebagai pelajar yang dibimbing, Hal ini berbeda dengan interaksi dalam kelompok teman sebaya. Interaksinya lebih bersifat dinamis. Anak dapat secara bergantian menjadi orang yang mengajari dan yang belajar. Pada suatu kasus si A memiliki zona belajar di atas zona proksimal temannya, sedangkan di kasus yang lain justru si B yang berperan demikian. Interaksi antar teman sebaya ini justru lebih banyak dialami oleh seseorang dalam hidupnya. Konsep ini juga dapat diterapkan pada proses belajar sepanjang hayat.

Referensi:
Cekaite, A., Blum-Kulka, S., Grover, V. & Teubal, E. (2014). Children's Peer Talk: Learning from Each Other. Cambridge CB2 8BS: Cambridge University Press

Gambar:
https://pixabay.com